Kamis, 14 Mei 2020

MEMBACA PERTANDA [Cerpen Harian Rakyat Sultra, edisi Senin, 11 Mei 2020]

Harian Rakyat Sultra

MEMBACA PERTANDA
Oleh Dian Nangin
 “Bagaimana kalau seorang dari kita meninggal, Bu?” kulontarkan pertanyaan itu pada ibu dengan nada polos. Ibu beberapa kali membawaku ke rumah duka untuk melayat kerabat atau rekan kerjanya. Alih-alih bergabung dengan kawan sebaya atau asyik menjilati es krim sementara para orang tua sibuk menumpahkan tangis di ruang duka, aku justru mengamati raut setiap orang. Kuterka-terka seberapa dalam hati mereka terluka ditinggal orang yang mereka kasihi.
“Kalau mati, ya tinggal ditanam di tanah,” sahut ibuku enteng, seolah prosesinya tak ubahnya melemparkan ayam-ayam peliharaannya yang mati ke dalam sebuah lubang sedalam setengah meter lalu menutupnya kembali dengan tanah sembari mengumpat pada tikus atau musang yang telah menggigiti unggas-unggas itu.
Aku tak tahu apakah jawaban ketus itu dipengaruhi emosi sebab sudah beberapa kali anak-anak ayam peliharaan ibu yang baru menetas mati digigit mamalia-mamalia itu. Pupus sudah harapannya melihat anak-anak ayam yang baru menciap-ciap itu untuk tumbuh besar, hingga akhirnya tiba waktunya untuk bertelur dan beranak pinak atau diolah menjadi lauk.
Atau, barangkali aku masih terlalu kecil untuk menerima sebuah jawaban logis dan agamis.

Kata ibu, masih terlalu dini bagiku untuk memikirkan kematian. Aku baru saja meniup lilin ulang tahun berangka tujuh ketika perhatianku terpusat pada ajal. Kebisingan dalam kepalaku bermula ketika kepergian nenek. Kematian terasa begitu nyata ketika ia berada begitu dekat denganku.
Pada suatu malam, sehari sebelum nenekku pergi untuk selamanya, aku melihatnya bercakap-cakap dengan kakek yang telah lama berpulang. Kakek yang hampir tak kukenal kalau bukan kuingat tahi lalat di sisi kiri hidungnya yang sering kulihat di selembar foto usang. Mereka berbincang dengan gestur seperti percakapan mereka sehari-hari di hari-hari aku belum lahir—aku yakin begitu walau aku tak pernah melihatnya langsung. Tak kutahu pasti apa yang menjadi topik perbincangan mereka, namun tampak keduanya sangat akrab seolah belum pernah berpisah.
Nenek memakai pakaian terbaiknya seperti hendak menghadiri pesta pernikahan. Ia kemudian pergi digandeng kakek yang perawakannya sedikit lebih muda dari nenek. Mereka tak menghiraukanku yang memanggil-manggil hingga suaraku parau. Padahal, tak pernah sekalipun nenek mengabaikanku sebab aku cucu bungsu yang amat dimanjakannya. Mereka hilang ditelan entah apa.
          Esoknya, sepulang sekolah, aku mendapati rumah telah ramai dengan orang-orang berpakaian hitam berwajah kelam. Aku yang masih mengenakan seragam disambut tangis  sambil didekap erat oleh beberapa orang sekaligus. Mereka meratapkan betapa malangnya nasib kami semua karena ditinggal nenek yang di mataku hanya tampak tertidur di tengah ruangan.
          Beberapa hari kemudian setelah rumah sepi dari para pelayat, ketika hendak makan malam, aku duduk diam tanpa menyentuh isi piringku kendati anggota keluarga yang lain mulai melahap hidangan.
“Mengapa kau tak makan?” tanya ibu.
“Menunggu nenek,” jawabku polos. Yang lain berhenti mengunyah, lalu meletakkan sendok dan garpu.
          “Dania,” kata Ibu dengan suara lembut. Sungguh kentara betapa keras ibu menahan duka dalam nada suaranya karena aku telah mengingatkannya lagi pada rasa kehilangan yang masih segar. “Nenek sudah meninggal. Ia sudah dikubur kemarin. Kau tidak ingat?”
          “Nenek tidak meninggal. Ia sedang pergi ke pesta,” sanggahku. “Kita harus menunggunya makan malam, bukankah begitu yang selalu kita lakukan?”
          Wajah-wajah mereka tampak bingung. Beberapa menggelengkan kepala, menganggap aku tengah mengigau dan belum dapat menerima kenyataan.
          “Kapan kau melihat nenek pergi ke pesta?” tanya ibu lebih lanjut.
          Aku menengadah, menatap langit-langit. Mengingat-ingat. “Sekitar lima hari lalu. Ia pergi bersama kakek.  Mereka berpakaian bagus.”
          Ibu menghembuskan nafas panjang, menyeka air yang baru jatuh dari matanya, lalu menjelaskan padaku. “Itu adalah sebuah pertanda yang kau terima lewat mimpi.”
          “Pertanda?” keningku berkerut.
          “Ya. Itu cara nenek berpamitan padamu. Ia bersama kakek, kaubilang? Dan mereka pergi? Kakek menjemput nenek. Kau hanya belum paham.” Ibu lalu memandang ketiga saudaraku satu persatu. “Ada lagi yang merasa menerima mimpi, atau firasat, atau pertanda mengenai kematian nenek?”
          Kepala-kepala menggeleng. Berarti hanya aku.
          “Baik. Sekarang, mari kita makan,” kata ibu menutup perbincangan dan kembali menyendoki nasi ke mulut. Aku mengunyah sambil berpikir. Kakek menjemput nenek dalam mimpiku. Apakah mereka telah kembali bersama sekarang?
Bagiku, pertanda tersebut sangat berkesan. Tapi, aku menjadi berhati-hati akan mimpi. Bisa jadi bunga tidurku pada suatu malam adalah pertanda akan kepergian seseorang untuk selamanya.
***
          Waktu dan usia lalu memaksaku menjadi dewasa, serta menghadiahiku hal-hal duka lainnya. Lebih sering aku menghadiri upacara pemakaman dibanding pesta pernikahan. Semakin sering aku memikirkan kematian, semakin sering ia datang menyapaku.
          “Kemarin kami masih nongkrong dan minum kopi sambil bercerita tentang masa lalu. Tak kusangka beberapa jam kemudian…” kata seorang kawan sambil menutup mulut, tak sanggup menyelesaikan cerita yang sudah mampu ditebak semua orang. Waktu itu kami tengah melayat seorang teman lama yang baru meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu aku meneliti setiap pertemuan. Mungkin saja itu akan jadi yang terakhir.
          “Andaikan aku tahu bahwa ajakannya bersua akan menjadi pertemuan kami yang terakhir, aku pasti datang,” sesal sepupuku yang baru kehilangan kekasihnya. Ia mengaku tak tahu mengapa ia enggan untuk bertemu pada suatu malam minggu dengan pemuda yang telah mengisi hatinya selama tiga tahun terakhir.
Kepalaku penuh. Mimpi, pertemuan, perpisahan, penyakit, dan segala pertanda lainnya. Hidupku menjadi tidak tenang. Kuungkapkan kegelisahan itu pada ibuku lewat telepon. Kini jarak memisahkan kami. Ibu tetap di kampung, aku berada di belahan bumi lain.
“Memang beginilah hidup, usah kau pusingkan. Jalani setiap kejadian yang datang,” katanya. Klise, tapi kutelan jua semua kalimatnya itu.
Kegelisahan yang sama masih merong-rongku bertahun-tahun berikutnya. Semakin lama semakin tak tertahankan. Di tahun ketiga setelah tinggal di ibukota negara Paman Sam, aku memutuskan pulang kampung. Sesuatu mendesak hatiku, agar aku segera menjenguk perempuan tua itu.
Perjalanan panjang kutempuh dengan kegelisahan yang tak jua pudar. Di gerbang desa, aku turun dari bus kampung. Hatiku serta merta lega melihat ibu berlari-lari menyongsongku. Tak ia pedulikan jalan licin sehabis hujan. Kejadian berikutnya berlangsung cepat. Ibu terpeleset, tubuhnya tumbang ke kubangan lumpur. Kulemparkan semua bawaanku dan berlari mendapati ibu.
Detik selanjutnya kami sudah di atas mobil bak terbuka yang melaju kencang menuju puskesmas. Jejak kakiku meninggalkan bercak lumpur di lantai ketika menggendong ibu ke IGD. Dokter jaga memeriksa ibu dan menggeleng. Aku terpaku. Beku. Dalam sekejab, ibuku berlalu. Nafasnya tak dapat kugenggam. Nyawanya tak bisa kutahan agar tetap dalam raganya bersemayam. Berusaha kuserap hangat tubuhnya selama mungkin sebelum menjadi dingin. Para perawat kemudian memintaku menyingkir agar mereka dapat mengurus jasad ibuku. Aku berjongkok di pojok ruang. Mengepit kepala di antara lutut, mengaduk-aduk rambut.
Baru kusadari, kegelisahan itu adalah pertanda. Lalu….apa?

Medan, 2019-2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar