Selasa, 22 Agustus 2017

Jangan Layu, Bunga [Cerpen Harian Waspada, 20 Agustus 2017]

ilustrasi oleh Waspada
JANGAN LAYU, BUNGA
Oleh Dian Nangin
            Kakiku seakan dipaku ke dalam bumi ketika tak sengaja kulihat sekelebat wajahnya. Kupicingkan mata. Hatiku bersikeras menyangkal kebenaran bahwa perempuan penjaga lapak sayur mayur yang terkantuk-kantuk itu adalah dia.
Turut bersamanya bocah laki-laki dan perempuan yang juga terkantuk-kantuk di tengah siang yang terik. Mereka merekat erat, seakan takut ada seseorang yang akan memaksa memisahkan mereka. Hatiku separuh bimbang, entah aku sedih atau senang melihatnya lagi.
            “Perempuan itu.....,” kutelan gumpalan di tenggorokan demi menyebut namanya,”...Melati, bukan?”
            “Benar.” Aku tak tahu siapa yang menyahut di antara gerombolan pembeli kue-kue tempatku berdiri sejak tadi tanpa berniat membeli. Jawaban yang menegaskan dugaanku itu benar-benar menceluskan hati.
            Tak dapat kutahan kerut-kerut di kening. Apa yang tersaji di depan mata sungguh bertolak belakang dengan apa yang kuimajinasikan selama ini tentangnya: ibu muda yang cemerlang, mengisi hari-hari dengan menerima dan memberi cinta. Kuhibur diri
dengan membayangkan kebahagiaannya, sempurna keluarganya.
            “Apa yang ia lakukan di sana? Bukankah suaminya yang berkecukupan itu seharusnya dapat menghindarkannya dari pekerjaan semacam itu?”
“Dia sudah bercerai,” seseorang berceletuk dengan nada datar.
Aku terhenyak. Seandainya dulu aku bisa membelokkan keputusannya, lebih berusaha mencegahnya. Seandainya dulu aku punya sedikit saja keberanian yang lebih untuk.... Ah! Kata seandainya selalu berada dalam ruang bayang-bayang, tak pernah menjadi kenyataan.
Dia tak pernah tahu bahwa senyumnya adalah salah satu bahan bakar energiku hingga mampu mengayuh sepeda setiap hari pulang pergi ke sekolah, dulu. Dia perempuan yang memacuku untuk mencari sebuah cita-cita yang bisa selalu membuatku berada di dekatnya. Aku juga memutuskan untuk kuliah sebab dia menginginkannya. Tak peduli keputusan itu sesungguhnya mustahil untuk kulakukan sebab hidupku dipalangi oleh keterbatasan.
Bila kutilik masa demi masa hidupku pada waktu-waktu yang telah lalu, nyaris semua kenangan yang mengisi memoriku tak jauh-jauh tentangnya. Mulai dari masa kanak-kanak yang mengantarkan kami menuju remaja, pun ketika belajar dewasa. Aku dan dia terbiasa berbagi hari-hari bersama. Apa sekarang dia masih cukup ceriwis, sebagaimana dia dulu?  Sifatnya itu memaksaku menerima seluruh celotehannya. Termasuk pengumpamaannya tentang laki-laki sebagai kumbang dan perempuan sebagai bunga.
“Seperti lirik lagu dangdut?” tanyaku berseloroh.
“Bukankah itu memang tepat?” dia balik bertanya alih-alih menjawab. “Para pujangga telah bekerja keras membuat ungkapan-ungkapan indah.”
“Jadi,” katanya dengan wajah bersemu,”aku adalah bunga. Seperti namaku.”
Aku tertawa. Tanpa dikatakan pun tentu aku turut diumpamakan sebagai kumbang. Kumbang pendamba. Pengagum rahasia bunga yang teramat indah bernama Melati.
Dia baru genap usia dua puluh ketika memutuskan pergi dengan sebuah cinta dan membangun mahligai rumah tangga. Cinta itu datang dari kumbang lain yang menawan dan menawarkan janji-janji untuk masa depan.
“Bukankah kita masih punya banyak cita-cita?” Kukerahkan segenap daya agar dia berubah pikiran. “Kau—kita masih cukup muda. Ada banyak cinta lain yang akan datang dalam perjalanan kita.”
“Memang ada banyak,” dia tersenyum tenang. “Namun cinta yang seperti ini hanya akan datang sekali saja. Dan, ini sudah cukup untukku. Aku tak menginginkan apapun lagi.”
Cinta yang bagaimana? Aku masih ingin bertanya. Pemahaman kami tentang romansa sejatinya masih prematur, namun keputusannya final sudah. Cinta telah buta terhadap segala logika. Beragam upayaku tak membuahkan apa-apa. Dia pergi. Lengkung bibirnya merekah. Tangannya melambai-lambai. Langkah demi langkahnya seakan bernyanyi-nyanyi menyongsong cinta yang dia agung-agungkan. Aku tertinggal di belakang dengan senyum tegar karena patah hati atas cinta yang tak pernah kuucap, atas ikatan hubungan yang tak punya ujung tersimpul.
Aku memilih menjadi kumbang yang hijrah ke kebun seberang, namun tak kunjung menyentuh bunga lain walau hanya sekali. Bertahun-tahun menjalani hidup sebagai mahasiswa strata dua di negeri orang, kini aku pulang. Cita-cita yang dulu kubentuk karenanya kini telah berada dalam genggamanku.
Kudapati bungaku yang dulu kini telah berubah. Kumbang yang dia puja dan percayai itu telah menyedot habis madunya, lalu meninggalkannya sendiri. Melati dan anak-anaknya kini serupa serumpun bunga di kebun yang terabaikan: rentan terhadap hujan, sengat matahari, sesak dikerumuni gulma-gulma. Anak-anaknya seumpama tunas muda yang rikuh. Dan, Melati sendiri masih begitu canggung menghadapi dunia dengan kaki yang rapuh.
Masih dapat kutangkap setitik keindahan dan keelokan yang pernah jadi miliknya, walau kini semua itu tak lagi utuh. Dirinya yang dulu sudah hilang bahkan lebih dari separuh. Cinta itu dulu datang menjemputnya dengan berlari-lari, kini telah mematahkannya dengan kecepatan derap yang sama. Bukankah segala yang abadi haruslah teruji oleh waktu? Barangkali aku terdengar terlalu percaya diri, namun sungguh kukatakan bahwa perasaanku padanya adalah sesuatu yang telah teruji. Namun, dia tak pernah menoleh pada hatiku untuk menengok apa yang ada di dalamnya.
Aku terkesiap di tempatku berdiri. Dia tiba-tiba menoleh ke kanan kiri, seakan sadar ada sebuah hati yang tengah mengenangnya. Seolah tahu seseorang sedang memperhatikannya. Aku segera menghindar dan menyembunyikan diri di tengah keramaian, tak ingin ia menyadari keberadaanku.
            Kuhela  nafas panjang. Aku juga telah membuat sebuah pilihan. Hatiku berbisik kalau dia harus berlalu, pergi dan berlalulah. Biar aku tetap di sini, memandangnya dari jauh. Tetap sebagai kumbang pengagum. Melati, tetaplah mekarkan senyummu meski alur cerita yang kau jalani terasa sulit. Jangan jatuh layu, sebab kau indah sebagaimana kau adanya.
Kini kakiku telah enggan mengejarnya. Bukan karena dia tak cukup menarik lagi. Aku hanya berpikir bahwa ketegaranku selama ini layak dihadiahi sesuatu yang lebih baik dan pantas. Cukuplah dia kukenang sebagai perempuan yang diam-diam pernah kusematkan di hati.
Medan, 2016-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar