Senin, 31 Juli 2017

SINABUNG - SIBAYAK [Cerpen Harian Analisa, Minggu 30 Juli 2017]

ilustrasi oleh Renjaya Siahaan/analisa

SINABUNG SIBAYAK
Oleh Dian Nangin
Kujejakkan kakiku yang kelelahan pada sebongkah batu pada puncak tertinggi gunung ini. Tangan berkacak di pinggang. Kepala mendongak menatap wajah langit. Bukan maksudku untuk pongah, aku cuma ingin menikmati klimaks kebanggaan serta kemenangan setelah menaklukkan jalur-jalur terjal dan tak mudah. Tiba-tiba terdengar suara jepretan serta samar cahaya berkilat yang berlalu dalam sekejab dari tustel yang dipegang oleh seorang perempuan.
“Tustel? Kuno amat?” sebuah suara menyela ceritaku.
“Ini cerita tahun 70’an, ingat?” kujawab dengan bertanya balik.

Kisah ini sudah lama berlalu, namun cukup selembar foto untuk mengingatkanku pada keseluruhan kenangan dari perjalanan kala itu. Kuangkat sebuah foto usang nyaris buram dari setumpuk foto baru dengan warna lebih jelas dan terang yang diambil dalam rentang lima tahun terakhir. Foto usang itu milikku yang berasal dari tujuh dekade lalu, sedangkan foto berwarna dan lebih terang itu adalah dokumentasi perjalanan milik Micah, putriku satu-satunya.
Foto yang satu ini memang sudah sangat usang. Pun pose diriku yang terekam begitu apa adanya, tak diatur tak direncanakan. Berbeda dengan foto-foto Micah yang diambil dari berbagai sudut yang menarik dan raut cantik yang sudah dihafalnya. Namun, walau usang, foto ini masih mampu mengingatkanku dengan sangat baik tentang gunung di dataran tinggi Sumatera Utara itu. Itulah kali pertama aku melakukan pendakian dan langsung membuatku jatuh cinta.
Seusai melakukan pendakian, kami singgah di pemandian alam air panas yang sumbernya langsung berasal dari gunung yang baru kami daki. Alam begitu baik, bukan? Puncaknya menerima pijakan kaki-kaki kita, sementara isi perutnya memanjakan tubuh kita. Tak ada alasan—sekecil apapun—bagi orang-orang untuk berbuat jahat padanya.
Dia menggosok punggungku dengan bubuk belerang, sementara aku memandangi atap-atap langit yang megah memesona. Aku terdiam demi meresapi kenikmatan yang setelahnya tak kudapati lagi dimanapun; bahu dipijit hingga rasa lelah jauh berkurang, mata dipuaskan latar pegunungan, paru-paru dipenuhi udara bersih, dan kebersamaan dengan orang yang terkasih di tempat yang juga kucintai.
“Sejak tadi Bapak menyebut ‘dia’. Siapa? Kenapa fotonya tak ada dimanapun?”
 “Dia ‘impal’ Bapak.”
“Apa itu ‘impal’?
“Impal itu anak perempuan paman—saudara lelaki ibuku—yang secara adat harusnya kuambil sebagai istri.”
“Jadi, Bapak seharusnya menikah dengannya, begitu?”
            “Tidak. Itu bukan lagi keharusan. Kalau hal itu adalah sebuah kewajiban, Bapak pasti tak ada di sini, tak pernah menikah dengan Ibumu dan kau tak pernah lahir.”
            Micah mengangguk-angguk kecil. Barangkali semua kisah ini tak lebih dari sekedar dongeng baginya. Ia lahir dan besar di negeri Paman Sam ini, tempat asal seorang perempuan berambut pirang dengan tinggi menjulang yang kuambil sebagai istri dan lalu menjadi ibunya. Micah hanya mewarisi hidungku yang tidak terlalu mancung dan darah petualangan yang kental mengalir dalam nadiku. Selebihnya ia sangat mirip ibunya; berambut pirang, tubuh setinggi tiang listrik dan mata biru kehijauan. Sering aku bergurau dengan mengatakan kalau kami pulang kampung, bisa-bisa matanya dicongkel karena disangka kelereng oleh bocah-bocah di sana.
            Tapi nyatanya, sejak berpuluh tahun berdiam di negeri ini, aku tak pernah pulang. Sebab telah ada cinta yang mengikat, tuntutan kerja profesional yang menjerat, hingga waktu terus bergulir tanpa pernah ada kesempatan untuk menjenguk bumi turang tempatku berasal. Rasa rindu hanya bisa sedikit lebur kala kutelusuri kabar-kabar di dunia maya serta membuai hati dengan lagu-lagu tradisional yang sama sekali asing di telinga Micah.
Benda yang tersisa padaku yang kubawa langsung dari kampung hanyalah selembar foto itu, serta kenangan yang terawat dalam benak. Kenangan pendakian itu salah satunya. Masih bisa kurasakan luap kepuasan ketika tiba di puncaknya. Kuharap Sibayak tetap menjaga keramahannya untuk menyambut kaki demi kaki yang kelak hingga ribuan tahun ke depan akan tetap datang untuk merasakan esensi pendakiannya.
Satu gunung lain yang tak dapat dipisahkan dari Gunung Sibayak adalah Sinabung, yang menawarkan sebuah petualangan menantang. Seusai menaklukkan Sibayak, kami menyusun rencana untuk suatu hari nanti meninggalkan jejak kaki di puncak Sinabung.
“Jangan-jangan, selama ini Bapak masih menyimpan perasaan pada wanita itu—impal, atau apalah namanya?!” Tampaknya Micah merasa terganggu karena aku selalu mengikutsertakan perempuan itu dalam ceritaku. Aku tersenyum demi mengendus adanya kecurigaan dan kecemburuan dari putriku ini, serta prasangka bahwa aku telah mengkhianati ibunya yang tiga tahun lalu telah berpulang pada Yang Maha Kuasa.
“Bukan perasaan. Aku hanya tak bisa menghapus wajahnya dari sini,” kataku sembali menunjuk kening.
Aku ingat masih menyimpan janji padanya agar sekelak usai menaklukkan Sinabung, kami akan melepas penat dengan bersampan di Danau Lau Kawar—tepat di bawah kaki gunung itu.
“Nah, benar, kan?! Bapak masih belum bisa melepaskan perempuan itu!” Micah protes. Mungkin cerita ini terlalu romantis dalam bayangannya, kendati janji itu tak pernah kami realisasikan.
Sebelum sempat kami menunaikan keinginan itu, aku terlanjur pergi jauh demi penaklukan-penaklukan lain ke negeri-negeri asing. Darah petualang ayahku yang telah pergi puluhan tahun tanpa pernah kembali ternyata mengalir deras dalam tubuhku. Darah petualangan yang membawanya jauh tanpa pernah kembali, menyisakan rasa rindu dan samar sosoknya.
Ketika pergi dulu, aku memilih untuk punya pemikiran berbeda dengan ayahku. Aku berikrar untuk tetap pulang sejauh apapun aku akan pergi, seberapa lama pun aku mungkin tersesat. Hati ini yang akan memaksa kakiku untuk pulang bila ia enggan melangkah. Atau, bila hatiku yang bersikeras untuk tetap di tempat, kakiku yang akan memaksanya beranjak.
Tapi akhirnya hati dan kaki ini bersekongkol untuk tetap berdiam di negeri asing yang kini kuakrabi. Hingga puluhan tahun kemudian berlalu, menyuburkan lupa. Dan, suatu hari rasa rindu tahu-tahu membuncah. Ah, aku bukannya lupa! Aku hanya memaksa ingatan agar tak menyeruak.
“Masih banyak gunung lain yang bisa Bapak daki kalau mau,” kata Micah.
“Tidak, aku tidak menginginkan yang lain,” aku menolak.
Kening Micah berkerut-kerut. Barangkali baginya aku orang tua yang payah dan keras kepala. Apalagi usiaku yang kini menapaki usia lanjut, sering mata ini melelehkan bulir-bulir air kerinduan. Kadang dalam mimpi tanganku menggapai-gapai, ingin mendekap hijaunya kampungku.
“Kau tau, kadang ada sebuah kerinduan yang tak dapat disangkal, tak dapat dikekang. Aku mengingatnya selalu dan hati semakin merana karena tak kunjung bertemu.”
“Baiklah,” katanya mengalah dengan nada seolah sedang menghadapi anak kecil. “Ayo kita susun rencana untuk pulang kampung dan mendaki gunung yang selalu Bapak gaung-gaungkan itu.”
“Tidak. Kita sudah tidak bisa lagi mendakinya. Bahkan sekedar mendekat pun tak akan diizinkan.”
Micah angkat bahu. Alisnya yang berkerut menyampaikan sebuah tanya tak terucap.
“Karena belakangan ini ia sering menangis. Berair-matakan lahar panas dan dingin. Merinaikan hujan abu ke segala penjuru.”
Micah terdiam, mungkin dia baru ingat kalau gunung itu sudah sangat lama dikabarkan meletus dan tak kunjung berhenti hingga kini. Aku diam tepekur. Tak dapat kucegah benakku membayangkan nasib saudara-saudara sekampung.
“Mestinya dia juga merasa kalau aku tengah merindu,” bisikku lirih.
Micah mengibaskan tangan, menganggapku terlalu sensitif dan berlebihan mengungkapkan isi hati. Terlalu memelihara haru biru yang tak perlu. Aku paham bahwa Micah tidak mengerti. Ia mengira keinginanku tidak lebih dari sekedar ambisi tak terpenuhi. Namun, jauh dalam ceruk hati ini tersimpan sebuah telaga rindu yang makin lama makin kering. Dahaga akan pertemuan dengan kampung halaman yang telah lama kutinggal pergi.
Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar