Rabu, 05 Juli 2017

RUMAH TERAKHIR [Cerpen Sumut Pos, 02 Juli 2017]

dok. pribadi

RUMAH TERAKHIR
Oleh Dian Nangin
            Langit senja tersaput mendung. Sekumpulan capung terbang rendah dan cepat. Cukup rendah hingga aku bisa menangkapinya dengan tangan kosong—hal yang sering kulakukan kala kecil, namun waktu itu aku masih pendek dan kalah gesit.
Aku berdiri di pintu belakang sebuah rumah tua, menatap langsung pada sebuah makam yang dikelilingi kebun kecil berisi aneka ragam tanaman. Ke sanalah kulangkahkan kaki.
Tempat peristirahatan nenek telah dibangun sejak sepuluh tahun lalu, tepat berdampingan dengan milik kakek. Bukannya bermaksud tidak sopan dengan mempersiapkan kuburan selagi beliau masih hidup, namun hal ini memang telah menjadi kebiasaan umum di kampung kami. Bahkan nenek sendiri tidak keberatan.
Kakek telah meninggal selama seperempat abad kini. Kuburan kakek awalnya seperti tempat peristirahatan abadi kebanyakan—jasadnya ditanam dalam tanah dengan sebuah nisan sebagai penanda. Bertahun-tahun kemudian, setelah kehidupan dan keuangan ayah serta paman-pamanku membaik, mereka sepakat membuatkan sebuah makam berbentuk balok, diberi ukiran-ukiran indah, dan meneduhinya dengan atap. Lalu diadakanlah sebuah acara adat pemindahan tulang kakek dari kuburan tanah ke makam yang baru.
Kata nenek, dulu aku ikut menggali bahkan mencuci tulang kakek sebelum dimasukkan peti dan berakhir di makam tersebut. Sebuah foto lama yang telah usang membuktikan kebenarannya. Tapi tak kuingat apa yang terjadi waktu itu, sebab aku masih berwujud kanak-kanak yang belum mampu menyimpan kenangan.
Tak mampu kuundang bayangan wajah kakek yang tak pernah kukenal—aku masih sangat muda dalam kandungan ibuku ketika ia meninggal. Bahkan tulangnya yang sempat kugenggam pun luput dari memori. Apa kakek pernah
memperkirakan bahwa di suatu masa depan saat ia tak lagi ada, tulang-tulangnya akan digenggam oleh cucu yang tak sempat ia timang? Beginikah waktu memainkan perannya—tidak mengizinkan dua manusia yang bertalian amat dekat untuk sekedar bertatap muka?
Di samping makam kakek kemudian dibangun sebuah balok lagi dengan salah satu sisi terbuka, menyerupai lubang tempat memasukkan peti nantinya. Makam untuk nenek. Kemarin sore, aku dan nenek masih duduk lesehan di sana. Kadang, dengan santainya ia berbaring di mulut makamnya sendiri, tertidur nyenyak seolah telah menemukan kasur paling empuk yang diimpikannya seumur hidup.
Setelah lima tahun hijrah ke kota seberang pulau, aku kini datang untuk menyetorkan wajah dan selusin kisah untuk membayar dongeng-dongeng yang ia ceritakan sewaktu aku masih bocah. Nenek sempat tidak mengenaliku. Tubuhnya kaku ketika aku mendekat untuk mencium dan memeluknya. Barangkali terlalu banyak bagian diriku yang kuizinkan diubah oleh kota, hingga kini aku tak lebih dari seorang asing di hadapan nenekku sendiri.
Lalu kemudian ia mengomel dan mengeluh, sebab menurutnya sudah sepuluh tahun aku tak datang menengoknya. Ah, di tengah petualangan hidupku di belantara kota, aku lupa pada nenekku yang seiring waktu semakin pikun. Ia mendengarkan sambil memajukan kepala, mengedip-ngedipkan mata, menyodorkan telinga. Kedua indra itu—mata dan telinga—fungsinya telah turun drastis sejak pertemuan terakhir kami. Sudah tak seprima tahun-tahun lalu.
“Dulu aku menyekolahkan ayah dan paman-pamanmu, berharap mereka melihat dunia lebih luas. Pergi ke tempat yang lebih jauh, mewakili kakiku yang tak mungkin bisa berjalan lebih jauh dari sini ke sana,” ujarnya sambil menunjuk makam tempat kami duduk berdua hingga ke belakang rumah tuanya yang jaraknya tak lebih dari lima belas langkah.
“Sekarang, aku dan sepupu-sepupuku sudah pergi ke tempat yang berlipat kali lebih jauh dari yang ayah-ayah kami lakukan,” aku menyahut bangga.
“Tapi aku khawatir.” Raut sedih muncul di wajahnya yang keriput.
“Kenapa?”
“Aku khawatir kau tidak lagi pulang.”
“Ini buktinya aku pulang, Nek,” kataku dengan lembut setelah tercenung beberapa saat. Meski nadaku ceria, namun hatiku meriang. Aku sendiri pun tak yakin kapan lagi bisa pulang, sebab banyak hal di kota telah memasung kakiku hingga tak lagi leluasa bergerak. Malangnya, kudapati diriku merasakan kesenangan bercampur sedikit keharusan sewaktu melakoninya. Aku masih muda dan bersemangat memandang dunia.
Percakapan kami masih berlanjut malam harinya sebelum terlelap di kasur dan dibalut selimut-selimut tebal yang dikirim anak dan menantunya dari kota. Seandainya nenek tidak melarang dengan keras, rumah tua ini pun pasti sudah dirombak bergaya minimalis, mengikuti rumah-rumah baru yang banyak bermunculan. Maka dibuatlah negosiasi. Kami tidak memaksa untuk memoles rumah ini dan nenek membiarkan rumah peninggalan suaminya ini dipenuhi barang-barang canggih yang kami kira dapat mempermudah hidupnya, namun ternyata jarang ia sentuh.
Kuraih sapu lidi untuk membersihkan gumpalan tembakau berwarna merah dan sampah sirih yang berserakan, bekas nenek kemarin ketika kami melepas rindu dan bercakap seharian. Ponselku bergetar. Kukeluarkan benda itu dari saku celana, mendapati nama ayahku tertera di layar. “Nenek sudah pergi, Lusi.”
Aku mematung, kaku. Baru tadi malam aku dan wanita tua yang pikun itu berpelukan sewaktu tidur, namun hari ini ia telah tiada. Pagi tadi ia mendadak sesak nafas. Ia segera dibawa ke rumah sakit. Ayah dan paman-pamanku bergegas datang setelah menunda segala jadwal kerja dan kesibukan.
Dan, meski anak-anaknya sanggup membeli peralatan, perawatan dan jasa dokter terbaik, namun kewajiban nenek akan kematian terbayar tanpa dihalangi apapun. Segala sesuatu terjadi begitu cepat, serupa kilat yang menyambar-nyambar di langit. Sabetan cahayanya membuatku kaget, namun ketika aku menoleh untuk melihat keberadaannya, ia telah hilang. Gerimis perlahan turun, seolah siap menyambut ruh nenek yang siap kembali pada Sang Pencipta.
Halo kakek...! Apa kabar? Sebentar lagi nenek akan menemuimu...
Kuhampiri sepasang makam itu. Kulongokkan kepala melalui sisi ruang yang terbuka, memandang ke dalam hingga jauh ke sudut-sudut gelap di ujungnya. Ruang sempit itu memberiku kombinasi kesan yang mematikan bahkan ketika aku masih hidup; hampa, sepi, dan dingin.
Aku baru akan beranjak dari sana ketika seekor kupu-kupu hinggap di atas makam, seolah mengabarkan bahwa akan ada tamu yang datang sebentar lagi. Tamu abadi penghuni rumah terakhir.
Medan, 2016-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar