Senin, 19 Juni 2017

SANGKAL [Cerpen Banjarmasin Post, Minggu 18 Juni 2017]

ilustrasi oleh Banjarmasin Post

SANGKAL
Oleh Dian Nangin
         Tak ada yang lebih mengherankan orang-orang selain melihat perangai Trisno bersama Rayani, istrinya. Bayangkan, ia menikah di usia dua puluh dengan meminang Rayani yang hanya selisih dua tahun di bawahnya. Usai menikah, Trisno membangun rumah kecil tepat di luar tembok tinggi yang membentengi sebuah bangunan megah berlantai tiga dimana ayah ibunya tinggal. Memilih bermukim di perkampungan kumuh yang selama ini hanya bisa ia lihat dari beranda kamarnya yang berada di lantai tertinggi.
         Trisno tak ubahnya putra mahkota yang terusir dari istana. Namun kali ini kasusnya beda, sebab lelaki muda itu memutuskan sendiri untuk angkat kaki dari sana, tak peduli walau ibunya menahan dengan berurai air mata. Bersama istrinya ia mengikat sebuah kesepakatan bagaimana mereka akan
menjalani hidup ke depan. Dan, seorang istri yang baik pastilah menurut dan mendukung apa yang dipandang benar oleh suaminya.
         Maka di sinilah mereka berakhir; di bawah atap seng tanpa plafon, berdinding papan, berlantai semen. Tentu keputusan itu menerbitkan kasak-kusuk dan gunjingan di kalangan tetangga yang selama ini tak pernah ia sapa walau mereka telah menahun tinggal di luar tembok tinggi itu.
         “Pasti cuma mau cari simpati!”
         “Kesambar jin kali, ya? Mana mungkin anak gedongan begitu mau turun kasta?”
         Begitulah mulut demi mulut bergantian melontarkan prasangka. Namun, ada juga yang memilih tak peduli. “Mengurusi mereka tak akan membuat perut kenyang. Cuma bikin makin lapar, malah. Lebih baik kita kerja, cari makan.”
         Demikianlah pasangan muda itu memulai hidup baru mereka. Sesekali terdengar teriakan kecil Rayani. Barangkali ia kaget mendapati kecoa atau tikus sedang menjajah dapurnya.
         Kehidupan Trisno dan Rayani kini bak sinetron di kehidupan nyata, selalu ada episode baru setiap hari. Apalagi setelah dua minggu tinggal di kawasan kumuh itu, datanglah orang-orang utusan ibu Trisno dengan rantang-rantang dan beragam kantongan. Tentulah sang ibu tak tahan melihat putra satu-satunya itu terasing dan menderita. Namun utusan itu selalu kembali dengan barang-barang yang utuh, sebab Trisno selalu menolak.
         Puncaknya, perempuan elegan itu sendiri yang datang menyambangi. “Ibu mohon, sudahi rasa bencimu terhadap ayahmu,” ucapnya.
         “Percuma, Bu. Akar perasaan itu sudah tumbuh terlalu dalam. Tidak mudah untuk mencabutnya.”
         ”Belajarlah untuk memaafkan ayahmu, Nak. Tak seorang pun di dunia fana ini yang tak pernah berbuat salah dan dosa.”
         Trisno menangkis. “Tak usah bicara tentang dosa, Bu. Percuma, walau ibu tahu itu dosa tapi ibu masih terus menutupinya.”
         “Ibu maklum kamu tak ingin menerima lagi apapun pemberian ayahmu,” perempuan itu memandang ke sekelilingnya, merasa miris melihat rumah putranya itu. “Tapi setidaknya berbaikanlah dengannya.”
         Walau dalam hati sang ayah menentang keinginan putranya karena ia menganggap Trisno masih belia dan butuh pendidikan serta pembekalan untuk meneruskan perusahaannya kelak, sang ayah tetap menyelenggarakan pesta besar nan mewah, yang sebenarnya juga tak diinginkan Trisno. Itulah pemberian terakhir sang ayah yang dengan terpaksa Trisno terima. Setelah itu, ia tak mau terlibat lebih jauh lagi dengan sang ayah mengenai uang. Bahkan tak sudi menjadi kandidat satu-satunya pewaris segala kekayaan lelaki itu.
         “Ibu tidak mengerti...” perempuan itu menyusut air mata, mendapati perseteruan dua lelaki yang ia sayangi tak juga mereda. Ia merasa tak berdaya karena tak mampu memihak yang satu dan mengabaikan yang lainnya.
         “Ibu sebenarnya mengerti, namun pura-pura tidak tahu. Seandainya ibu mendengar kata hati dan membuka mata sedikit lebih lebar, ibu juga pasti meninggalkan laki-laki itu.”
         Demikian penolakan demi penolakan diberikan Trisno pada sang ibu maupun utusan-utusannya. Hingga dua bulan kemudian kunjungan itu mendadak berhenti. Trisno lega sekaligus khawatir. Ia ingin tahu apa yang terjadi, namun terlalu gengsi untuk mengetuk pintu gerbang itu dan masuk ke dalam untuk mencari tahu apa yang terjadi.
         Untuk sementara mereka hidup aman walau jelas-jelas merasa tak begitu nyaman. Tak ada lagi utusan sang ibu dengan beragam titipan. Bahkan rumah besar itu tampak lebih sunyi dari biasanya. Hingga suatu hari pintu rumah mereka diketuk. Rayani membuka pintu dan terkejut mendapati sejumlah lelaki berseragam.
         Rayani terlalu kaget untuk bertanya atau mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Ia hanya terpikir untuk segera memanggil suaminya. Trisno muncul dengan kaus singlet dan sarung. Penampilannya itu membuat banyak kening berkerut, hingga samar terdengar tanya dari antara para lelaki itu.
         “Apa benar ini anaknya Sulistyo?”
         “Wajahnya, sih, mirip. Tapi kok hidupnya begini?”
         Seorang dari mereka maju menghampiri Trisno. “Kami ingin menyampaikan bahwa Pak Sulistyo telah ditangkap karena kasus korupsi.”
         Trisno tak tampak terkejut.
         “Kami telah menyita rumah dan beberapa barang lainnya karena beliau juga terlibat hutang dengan bank.”
         Wajah lelaki muda tersebut terpancang datar. Sesungguhnya dari jauh hari ia telah memperkirakan hal ini akan terjadi. Segala alasan yang menerbitkan benci di hatinya terhadap lelaki yang ia sebut ayah kini semakin mengukuhkan perasaan itu.
         Rasa heran para petugas itu terpancing. Sebab, walau menerima berita yang buruk dan mengejutkan, Trisno tak menunjukkan reaksi yang diharapkan. “Bukankah Sulistyo adalah ayah anda?”
         Dengan suara tenang Trisno menjawab,“Benar. Tapi beberapa waktu belakangan ini ia banyak berubah. Ia telah jadi orang asing. Ia tak ada urusan denganku. Aku sudah tak mengenalnya lagi!”
Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar