Senin, 10 Juli 2017

TUTUR AIR MATA [Cerpen Medan Pos 09 Juli 2017]


sumber google

 TUTUR AIR MATA
Oleh Dian Nangin
            Kebanyakan penumpang langsung terkantuk begitu bus mulai melaju. Sementara aku mengeksplorasi terlebih dahulu setiap hal yang kujumpai di tempat baru. Ini adalah kali pertama kami—aku dan beberapa teman—menginjakkan kaki di  kota Medan, dimana kami siap bertolak ke daerah dataran tingginya, berniat menjelajahinya selaku backpacker yang haus pengalaman pengembaraan.
Sopir menyetel lagu daerah yang dentum-dentumnya mengalahkan gerungan mesin bus. Tapi tampaknya tak ada yang benar-benar menikmati suguhan musik itu. Beberapa penumpang yang tak bisa tidur cenderung melamun, berselancar di dunia maya, atau bermain game di ponsel untuk membunuh waktu.
Dan, sepintas tak ada yang salah dengan perempuan muda yang duduk di sebelahku ini. Tadi dengan sopan ia bertanya apakah ia bisa duduk dekat jendela. Tentu saja aku mengangguk sambil menggeser tubuh, memberinya ruang yang cukup. Bahkan kubatalkan niatku merokok demi membuatnya nyaman.
            Sejenak aku merasa beruntung duduk bersisian dengannya. Bercakap dengan perempuan cantik, meski sekedar basa basi, akan menjadi hal menyenangkan untuk mengarungi perjalanan ini. Apalagi kalau bisa lebih dari itu, sedikit lebih dekat apalagi dapat berlanjut ke hari-hari yang akan datang. Ah, belum apa-apa hatiku sudah berharap lebih.
            Tapi, ketika aku mencuri pandang, kutangkap samar bayangannya melalui pantulan kaca jendela. Pandangannya jauh menerawang, seakan dapat menembus kegelapan di luar sana.
Kutangkap pula guncangan halus pundaknya serta kerjapan mata basahnya.
            “Hei,” kusentuh bahunya pelan. “Kenapa kau menangis?”
            “Ayahku baru meninggal.” Ia menoleh setelah mengusap wajahnya dengan tisu.
            Aku terkesiap. Mendadak lidahku  kelu, tak mampu lagi menjalankan rencana basa-basi yang telah kurancang tadi.
            “Kapan?” tanyaku sedikit cemas. Akan sungguh menyakitkan bagi seseorang saat masih berada dalam perjalanan, sementara orang yang dicintainya sudah menunggu di tujuan dalam kondisi raga terbaring kaku tanpa nyawa.
            “Dua minggu lalu.”
            “Oh!” aku manggut-manggut.
 “Maaf,” katanya lagi. “Sesungguhnya aku tidak ingin menangis di sini, tapi aku juga tak sanggup menahannya. Maaf kalau kau merasa terganggu.”
“Tidak apa.” Kuanggukkan pemaklumanku. “Aku bisa mengerti betapa pahit kehilangan yang sedang kau rasakan.”
            “Ya,” sahutnya di sela tangis. “Sungguh pahit. Sosoknya masih lekat di pikiran, gelegar tawanya terngiang-ngiang di telinga, tapi dia tak lagi ada untuk selamanya. ”
            Ah, apa yang harus kukatakan? Aku bukan tipikal religius yang dengan mudah dapat mengutip ayat-ayat penghiburan. Kupadamkan keinginanku untuk bertanya dimana ayahnya meninggal, karena apa, dan sebagainya. Itu sama saja dengan menyuruhnya mengorek kembali kenangan pedihnya yang belum berlalu jauh. Sementara tangisnya sekarang menunjukkan masih betapa kental rasa kehilangan itu. Dia begitu khusuk dengan air matanya.
Kugumamkan lirih, aku ikut berduka. Ia mengangguk samar. Kami terdiam lagi. Ia menangis lagi. Kuraih tas ranselku dan mengeluarkan sebotol air mineral. Kulungsurkan ke hadapannya. Sengguk-sengguk bisu tadi pasti melelahkan dan mengeringkan tenggorokannya. Namun ia hanya menatap dalam diam.
“Tenang saja. Ini masih baru, kok. Aku juga tidak mencampurnya dengan sianida,” ujarku tanpa bermaksud bercanda. Namun, aku melihat sekilas bibirnya tersenyum tipis, lalu pudar dalam sekejab. Ah, andai saja ia tersenyum sedikit saja lebih lebar dan beberapa detik lebih lama, aku yakin itu adalah salah satu senyum terindah yang pernah kulihat.
Ia mengucapkan terima kasih dengan suara serak. Dibukanya tutup botol air mineral itu dan diteguknya dua kali. Selanjutnya botol itu diabaikannya di pangkuan. Ia memalingkan lagi kepalanya ke arah jendela. Hening mengisi ruang di antara kami hingga beberapa saat lamanya.
“Aku rindu panggilan-panggilan teleponnya, sosoknya yang setia menunggu di beranda rumah selarut apapun aku tiba,” bisiknya perlahan. Aku tak yakin ia sedang memberitahuku perihal kerinduannya itu atau ia sekedar berbicara sendiri.
 “Ibumu?”
“Ya, kini hanya dia yang aku punya. Aku bahkan rela menempuh dua jam perjalanan pulang pergi kerja  ke kota setiap hari hanya demi bisa terus bersamanya. Aku tak siap dilumat sepi hidup sendiri di kota besar sana.”
Aku tercenung. Meski saat ini sedang tak punya kekasih, aku tidak pernah merasakan yang namanya dilumat kesepian. Lazimnya kos-kosan lelaki, kadang begitu jauh dari ketenangan. Selalu ada petikan gitar, permainan kartu yang berisik, sorakan heboh ketika menyaksikan liga bola, atau tawa-tawa membahana kala saling melempar lelucon.
Satu persatu bulir-bulir bening itu kembali meluncur dari telaga matanya. Aku tahu, menangis itu manusiawi. Tapi sesekali aku terheran, seberapa banyak pasokan air mata yang ia punya?
Kebanyakan menghabiskan hidup dalam penaklukan alam yang cukup keras, sungguh aku kesulitan menangani situasi sentimental begini. Menghadapi perempuan yang terus-terusan berurai air mata....bagaimana aku harus bereaksi? Menenangkannya? Meminjamkan bahuku sebagai tempatnya bersandar? Mengusap punggungnya? Kami belum cukup akrab untuk dapat melakukan hal itu. Bahkan namanya saja aku masih belum tahu.
***
            Kerlap-kerlip lampu rumah yang mulai memadat menandakan bus sudah keluar dari hutan yang dominan gelap. Bus tiba di sebuah kota kecil yang dingin karena berada di dataran tinggi dimana salah satu gunungnya akan kami daki sebentar lagi. Kernet menyerukan titik pemberhentian dan kelompokku mengacungkan tangan. Kami telah tiba di tujuan.
Perjalanan ini rasanya usai terlalu cepat sekaligus seakan tak berujung. Terlalu cepat karena aku harus berpisah dengannya. Sekaligus tak berujung karena sepanjang perjalanan ia menumpahkan air mata tiada henti. Entah di titik mana ia akan berhenti—air mata itu.
            Tak ada secuil pun momen perkenalan. Aku bukan tipe lelaki yang memanfaatkan kesedihan wanita sebagai peluang untuk unjuk diri, berlaku bak pahlawan, lalu menyedot perhatiannya.
            Aku menoleh sekali lagi sebelum melompat turun. Entah kapan kami bisa bersua kembali. Kureguk pemandangan muram wajahnya. Kepalanya tertunduk seakan menekuri segenap rasa dengan mata yang tak kunjung kering. Enggan rasanya aku turun dan meninggalkan dia sendiri. Entah dimana rumahnya dan entahkah dia akan baik-baik saja.
Betapa kuat hasratku ingin mengulurkan tangan dan menyeka pipinya. Selagi aku berpikir untuk melakukannya atau tidak, air matanya yang mengalir tiba-tiba menguap. Benda cair itu mendadak berubah wujud dan yang tampak di mataku adalah seberkas asap putih bercahaya. Semakin pekat cahaya itu kala air matanya menderas. Melayang-layang di udara. Tak lagi jatuh menitik melalui ujung dagunya yang lancip.
Aku hanya bisa menghela nafas. Ia dan kesedihannya telah menjadi satu.   
Medan, 2016-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar