Sabtu, 05 Mei 2018

YANG TAK AKAN LAGI SAMA

Things change
People change
Feelings change

dok. pribadi
Saya beserta tiga saudara lainnya lahir dari rahim seorang perempuan petani, perempuan yang sejak  belia hingga jelang usia senjanya terus berkutat di ladang. Sudah pasti kami tidak bisa menghindar dari alam. Walau memiliki ayah yang bekerja sebagai tenaga medis dan sewaktu kecil kami sering bermain dokter-dokteran sambil mengalungkan stetoskopnya di leher, namun tetap saja ladang menjadi arena bermain nomor satu. Di sana kami bermain masak-masakan, membuat rumah-rumahan di atas pohon, menyembunyikan diri di semak-semak ketika sedang merajuk, menariki cacing dari dalam tanah, hingga membedah katak-katak tak berdosa.
dok. pribadi
Walau kini anak-anak petani ini sudah tumbuh dewasa, memelihara cita-cita yang berbeda-beda, dan hijrah ke kota, ladang tetap menjadi bagian diri yang tak terlupakan. Saat kami pulang kampung, tubuh kembali mengakrabi tanah. Tak peduli pendidikan atau aktivitas yang digeluti di kota tak ada sangkut pautnya, namun darah dan naluri bertani mengalir dalam nadi. Tangan kembali cekatan berkotor-kotor membersihkan gulma dari batang-batang kol, memanen kentang, atau menabur pupuk pada tanaman-tanaman lain. 

dok. pribadi
Yah, pemandangan inilah yang menemani keseharian di ladang. Para petani bekerja di lahan masing-masing. Suara mesin traktor meraung ketika membajak satu ladang. Senda gurau sekelompok buruh tani terdengar dari ladang lain. Cuitan burung sahut-menyahut menggema dari arah hutan.
dok. pribadi
Tapi, semua ini akan segera berakhir. Pasalnya, si pemilik ladang-ladang tetangga kami telah memutuskan untuk menjual lahan mereka. Dan, kabarnya, di sana akan dibangun kompleks perumahan.
Barangkali bukan sebuah kabar yang mengejutkan dan bukan pula sebuah masalah besar. Jual beli tanah dan rencana apapun yang akan mereka lakukan adalah milik mereka yang punya hak. Sama sekali bukan urusan saya.

dok. pribadi
Tapi, ada secuil kesedihan merayap. Sebab, pemandangan dan kenangan masa kecil saya akan lenyap. Pemandangan yang menyejukkan mata dan suasana alam yang menenangkan hati ini akan menghilang. Jalan setapak yang memisahkan satu ladang dengan ladang lain yang sering kami lewati tak akan lagi ada. Takkan bisa lagi kami petik stroberi-stroberi liar yang tumbuh di semak-semak tepi jalan. 
dok. pribadi
Entah apa alasan si pemilik lahan menjual tanahnya, dan entah mengapa pula pemilik barunya berencana membangun perumahan di sana. Yah, mungkin si pemilik lama sedang membutuhkan uang dan si pemilik baru berpikir bahwa berinvestasi dalam bentuk properti akan lebih menguntungkan daripada bertani. Dan, bukankah pembangunan memang sedang gencar-gencarnya dilakukan? Manusia bertambah banyak, tentu mereka butuh tempat bernaung. Rumah memang salah satu kebutuhan utama manusia, dan seolah lupa bahwa makanan juga merupakan kebutuhan yang tidak kalah penting. Dan, sumber utama makanan manusia sebagian besar diusahakan oleh para petani di ladang-ladang mereka, berpeluh-peluh ditemani panas dan hujan.
Bukan rahasia lagi kalau bidang pertanian tidaklah menarik. Banyak orang tak peduli, tak mau tau. Pertanian, jelas, bukan simbol kemodernan! Orang-orang lebih setuju bahwa pembangunan dan sektor industri yang kuat akan menempatkan negeri ini di jajaran negara-negara maju.

Ah, tak usahlah bahas yang beginian. Berat 😂
dok. pribadi
Saya tiba-tiba teringat sepenggal cerita dari karya Francois Lelord, lewat tokoh bernama Hector, ia menyuarakan pendapatnya;

Jalan berkelak-kelok menembus pedesaan yang dipenuhi pohon-pohon tinggi dan rumah-rumah kayu cantik di atas jangkungan. Di bawah naungan rumah-rumah itu, kita dapat melihat orang-orang tidur di tempat tidur gantung, para perempuan berjongkok selagi memasak, anak-anak asyik bermain, anjing mengibas-ngibaskan ekor dan terkadang sapi berpunuk di leher dengan kebiasaan menyeberang jalan tanpa menoleh kanan kiri.
Hector berpikir bahwa negeri ini sangat indah, tetapi pada waktu bersamaan dia tahu bahwa keindahannya berasal dari kemiskinannya, karena saat negeri ini semakin makmur, orang-orang akan berkeinginan memiliki rumah-rumah beton yang buruk rupa dengan langkan dari cetakan plastik., seperti yang ada di negara-negara tetangga. Minimarket, pabrik, dan papan reklame juga akan bermunculan di sepenjuru desa. (Hal. 68)

Sejujurnya, saya juga sependapat dengan Hector. Saya sering membayangkan wilayah ini kelak akan menambah daftar kawasan kumuh di negeri ini. Pertanian semakin terpojok. Polusi meningkat. Desa permai ini lambat laun berubah menjadi metropolitan yang amburadul.

Mungkin, ini cuma pemikiran seorang pesimistis yang tak beralasan atau khawatir berlebihan. Bisa saja yang akan terjadi nanti malah kebalikan dari apa yang saya cemaskan.
pemandangan senja yang akan segera berubah
Namun, satu yang pasti, tak ada yang abadi. Banyak hal yang tak akan lagi sama.
Semua hanya masalah waktu 🔜




Tidak ada komentar:

Posting Komentar