Senin, 30 April 2018

TEH DAN KOPI [Cerpen Remaja Analisa, Minggu, 29 April 2018]

Ilustrasi Harian Analisa

TEH DAN KOPI
Oleh Dian Nangin
Ini kali pertama aku berkunjung lagi ke desa ini setelah dua tahun lalu aku pulang ke kota. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan keluar rumah. Papa dan Mama masih terlelap. Setelah meninggalkan pesan singkat, aku pergi menuju kebun kopi Wilsen. Sepanjang jalan aku menghirup udara segar dalam-dalam. Aku suka bau rerumputan yang basah oleh embun di pagi hari, salah satu kenikmatan alam yang sulit kutemukan di kota.
Teringat Wilsen, serta merta pula muncul nama Juna. Dan, bila nama mereka berdua telah keluar dari kotak ingatanku, turut mencuat sebuah janji yang mereka pinta dariku. Waktu itu, sehari sebelum aku kembali ke kota, mereka mengutarakan isi hati mereka padaku. Baru kali itu aku menghadapi dilema, tak dapat memutuskan dengan mudah. Wilsen dan Juna, dua teman laki-laki yang telah memberiku kenangan indah di tempat yang awalnya dulu tak kusukai ini.

Aku ingat, bertahun-tahun lalu, aku berkali-kali merajuk ketika orang tuaku memutuskan pindah ke desa. Papa beralasan agar kami bisa menjaga nenek yang kini sendiri setelah ditinggal kakek untuk selamanya. Waktu itu aku protes berat, kenapa bukan nenek saja yang pindah ke kota? Perempuan tua itu sungguh egois. Aku tak rela pindah sekolah dan meninggalkan hidupku yang nyaman di kota. Menurut kebanyakan sahabat,  tinggal di desa itu membosankan. Ketinggalan zaman.
Namun Papa menjawab dengan kalimat yang tak dapat kubantah. Nenek sudah tua, ia ingin menghabiskan hari-harinya di tempat tenang. Ibukota yang penuh hiruk pikuk tidak cocok untuknya. Masa kita yang muda tidak bisa mengalah? Begitu katanya.
Namun kemudian aku menemukan keasyikan luar biasa. Bersama Juna, cucu dari sahabat nenek yang tinggal di kebun teh yang seumuran denganku, aku menikmati bermain sepeda melintasi lereng-lereng yang datar maupun yang curam. Mengitari perempuan-perempuan pemetik daun teh, bermain di tempat hijau seluas mata memandang.
Juna juga mengajakku berkunjung ke pabrik pembuatan teh yang berada tak jauh dari kebun. Aku menyaksikan sendiri bagaimana daun-daun yang telah dipetik itu diolah mulai dari mentah, diproses melalui beberapa fase seperti pengeringan, penggilingan, oksidasi dan serangkaian proses lain. Hingga akhirnya teh itu dapat diseduh dan dinikmati.
Papa tersenyum lebar melihatku beradaptasi dengan cepat. “Sudah lihat, kan, kalau ternyata tinggal di desa juga menyenangkan?” sindirnya. Aku hanya tersenyum malu karena akhirnya aku jatuh cinta pada tempat ini.
Lalu, muncullah Wilsen. Pertama kali aku melihatnya sewaktu kami sekelas melakukan kegiatan lintas alam dengan rute melewati kebun demi kebun, turun sedikit ke lembah dan mengitari perbukitan. Anak laki-laki yang imut itu duduk murung dengan mata bengkak. Ternyata ia baru datang dari kota, dibawa oleh kakeknya, karena orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat dan meninggal.
Tak butuh waktu lama untuk akrab dengan Wilsen. Kalau bersama Juna aku belajar banyak tentang teh, maka Wilsen membawaku bertualang di kebun kopi kakeknya. Bertiga kami telah menjadi sahabat dekat.
Aku jadi suka kebun kopi. Padahal sebelumnya aku tidak pernah menaruh perhatian, berpikir kebun kopi itu tak menarik. Pohon-pohonnya tumbuh tinggi dan rapat, berdaun rimbun hingga terkesan tertutup.
 “Ayo, Ninda!”
Aku ingat pengalaman pertama kali memetik kopi. Siang jelang sore itu, Wilsen menjemputku. Aku keluar rumah dengan kaos oblong dan celana pendek, baru ingat punya janji dengannya sepulang sekolah. “Maaf. Tadi aku ketiduran.”
Wilsen hanya geleng-geleng kepala sejenak. “Ganti celana dan bajumu dengan yang berlengan panjang. Kalau tidak, nanti kulitmu digores ranting-ranting kopi yang tajam yang menyakitkan dan meninggalkan bekas.”
Aku mengangguk paham. Tak menunggu lama, aku telah memakai kostum sesuai saran. Sore itu kuhabiskan dengan memetik kopi. Wilsen menunjukkan kopi yang bagaimana yang harus kupetik. Menyenangkan juga, karena ternyata dibalik rimbun daun-daun kopi, ada buah-buah kecil berwarna merah bercampur hijau berdesakan pada satu ranting. Sesekali aku memekik ketika mendapati semut-semut yang suka nongkrong di buah-buah kopi, bahkan membangun sarang di balik daun-daunnya.
Usai memetik kopi, Wilsen mengajakku membantu kakek memutar tuas mesin pengupas kopi manual. Menebar kopi-kopi yang sudah terkupas dan dicuci bersih ke tampah-tampah yang lebar, lalu diletakkan di bawah sinar matahari.
Beberapa hari kemudian aku datang lagi setelah kopi kering. Kami menonton kakek dan nenek Wilsen menyangrai biji-biji kopi itu hingga berwarna kehitaman. Aku berjongkok di dekat tungku, sekalian berdiang untuk menghangatkan tubuh karena di luar sedang hujan. Aroma kopi yang begitu enak di hidung memenuhi seantero pondok.
Bila ada orang yang datang berkunjung atau sekedar berteduh, maka aku akan berperan sebagai pramusaji yang mengantarkan cangkir-cangkir kopi panas kepada mereka. Baristanya adalah Wilsen. Tentu saja bukan barista profesional karena pekerjaannya tidak seberat itu—ia hanya menyeduh bubuk-bubuk kopi dengan air mendidih dan pilihan menu yang bisa disajikan di pondok kecil ini hanya kopi dengan gula atau susu kental manis kalengan.
Teh dan kopi.
Dua minuman itu selalu ada di rumah. Teh diseduh dalam gelas bening Mama. Aromanya menenangkan, menghangatkan. Kopi hitam pekat dengan uap terkepul datang dari cangkir Papa. Baunya meninggalkan jejak yang begitu membekas dalam rongga penciuman maupun ingatanku. Kedua aroma itu berbaur menjadi satu, akrab, berdampingan di setiap pagi.
Sebenarnya masih ada satu minuman lagi yang tak pernah absen di rumah. Baunya amat menyengat—tak pernah bisa bersahabat dengan hidungku. Aroma rempah yang kuat menyeruak ketika minuman itu terhidang. Jamu nenek. Lidahku spontan menjulur keluar ketika nekat mencicipi jamu itu suatu kali. Rasanya paduan antara pahit, pedas, juga asam bercampur manis, amat tidak karuan. Aku tak pernah suka dengan minuman itu. Perhatianku hanya tertuju pada dua minuman tadi.
Teh dan kopi, punya kesan tersendiri pada indra perasaku. Aku menyukai keduanya. Salah satunya tak pernah lebih tinggi dan lebih hebat dari yang lainnya.
Namun, sesuatu terjadi. Persahabatanku dengan Juna dan Wilsen mendadak dihadang jarak. Nenek meninggal. Papa kembali memboyongku dan Mama ke kota. Mang Bono disuruh tinggal di rumah nenek, bertugas menjaga dan merawat rumah itu, menjadi tempat kami kembali suatu saat nanti.
            Dan di sinilah aku, kembali menyusuri jalan setapak menuju kebun kopi Wilsen setelah dua tahun tidak berkunjung. Dari kejauhan, aku sudah melihat pondok kopi Wilsen. Pun, ada Juna di sana. Keduanya entah sedang membicarakan apa. Kuhampiri dengan tak sabar.
            “Surprisee...!” ujarku nyaring sembari merentangkan tangan. Dua pemuda itu  serentak menolehkan kepala dan memberiku reaksi yang sama. Keduanya menunjukkan raut kaget bercampur senang yang kentara. Aku tersenyum bahagia melihat mereka masih seakrab ketika kutinggalkan.
            Mereka memelukku bergantian. Kedua sahabat masa kecilku telah berubah menjadi remaja jelang dewasa yang menawan. Aku bahagia pernah datang ke desa ini dan kemudian bertemu mereka.
            “Masih ingat dengan janji bahwa kalau kamu kembali, kamu akan memberi jawaban tentang pilihanmu di antara kami berdua?” Sekonyong-konyong Juna bertanya.
            Tentu aku ingat. Dalam hati aku sudah menetapkan jawaban. Kuhirup kopi manis yang baru disajikan Wilsen. Kulihat wajah kedua sahabat laki-lakiku itu menyiratkan gugup dalam penantian.
            “Aku tidak ingin memilih siapa-siapa,” sahutku mantap. Mana bisa aku memilih yang satu dan membiarkan yang lain menjauh?! Dan, tak ada pula perasaan lebih di hatiku yang dapat kupaksakan, kendati mereka punya perasaan untukku. Sebab selamanya aku hanya ingin bersahabat dengan mereka. Persahabatan yang kekal.
Medan, 2016-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar