Senin, 28 Mei 2018

Rindu Dari Tepi Danau [Cerpen Harian Waspada, Minggu 27 Mei 2018]

ilustrasi oleh Harian Waspada
RINDU DARI TEPI DANAU
Oleh Dian Nangin
            Embun pagi masih tersampir di ujung daun-daun mangga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Pagi ke sekian ratus kembali tiba sejak kepergiannya. Aku berdiri di kusen jendela, membiarkan angin yang bertiup sepoi dari danau menerpa wajahku. Kupandang pohon mangga yang berdaun lebat namun sudah lama tak berputik itu, seakan ia tak lagi menemukan cinta dan gairah musim sebagai alasan untuk kembali berbuah. Pohon itu berdiri sendiri di pekarangan berpasir. Seolah kami sama-sama terikat dalam satu predikat sebagai dua makhluk yang kesepian.
            Sudah hampir dua tahun dia pergi, kekasihku yang berambut panjang dan bermata teduh. Tubuhnya semampai, dengan bibir tipis yang menerbitkan lesung pipi kala tersenyum. Kami pertama bertemu ketika ia datang dari kampung sebelah, menempati sebuah kamar yang menghadap danau di penginapan kecil yang dikelola ayahku. Keakraban kami terjalin ketika aku sedang mengemasi buku-buku tua yang ditinggalkan para tamu yang pernah singgah di penginapan kami.

            “Aku suka membaca,” katanya waktu itu, membuatku urung membuang buku tak bertuan yang sebagian berbahasa asing itu.
            “Kau boleh memilikinya,” tawarku. “Turis-turis itu datang dan pergi, meninggalkan buku lebih banyak lagi. Sementara penduduk kampung, kau tahu, para orang-orang tua terlalu sibuk bekerja hingga tak ada waktu bagi mereka untuk membaca. Sementara anak-anak muda, perhatian mereka seluruhnya telah diserap oleh teknologi dan dunia maya.”
            Matanya berbinar, ia tersenyum. Sejak saat itulah aku jatuh hati. Ia menempati kamar itu beberapa waktu dan tak kunjung pergi. Ketika kutanya apa ia tak ingin pulang, ia malah meminta untuk diizinkan tetap tinggal.
            “Orang tuaku sudah tiada. Tak ada yang menungguku,” jawabnya. “Lagipula, aku sedang menulis sebuah novel. Tempat dan buku-buku ini memberiku banyak inspirasi.”
            Betapa bahagia aku mendengarnya. Demi kecintaannya pada buku dan kecintaanku padanya, aku membuat sebuah rumah kecil tak begitu jauh dari penginapan. Buku-buku itu kupindahkan ke sana, agar ia dapat menyalurkan isi kepalanya tanpa ada yang mengusik.
            Setiap hari aku menjenguknya ke sana. Bila ia sedang sibuk dengan tulisannya, aku memilih berdiam diri sambil membaca buku, berusaha mengakrabkan diri pada apa yang disukainya. Bila sedang senggang, kami pergi mengayuh perahu, lalu lalang di atas danau tanpa tujuan, mengobrol topik yang berganti-ganti. Berbulan-bulan lamanya kami menjalani aktivitas itu, hingga akhirnya menjadi rutinitas yang menyatu dengan hidup.
            Namun, ternyata tak ada yang abadi. Kupikir kebersamaan kami akan berlangsung selamanya dan kebahagiaanku tak diinterupsi, namun pemikiran itu terlalu naif. Impian ketika suatu hari aku akan melamarnya, kami menikah, dan membangun rumah tangga di tepi danau ini lalu buyar. Tak pernah melintas dalam bayanganku bahwa ketika tulisannya itu rampung, ia pamit pergi ke kota sebab tak butuh inspirasi lagi. Ia ingin pengalaman baru.
            “Bukankah kau begitu mengagumi rumah kecil berpagar bambu ini? Bukankah cintamu hanya untuk buku-buku yang walau sudah usang dan berbau apek ini, kau anggap sangat berharga?” itu yang dulu kukatakan ketika berusaha menahan langkahnya.
            “Memang benar, namun aku yakin akan ada buku-buku lain yang akan kutemukan di sana nanti. Juga pengetahuan-pengetahuan baru yang pasti akan berguna kelak,” jawabnya.
            Aku hanya mengangguk sambil menyembunyikan kecewa, tak ingin terlihat egois dengan bersikeras memaksanya tidak pergi.
            “Setelah bukuku terbit, aku akan kembali untukmu,” janjinya,”jangan khawatir.”
Begitulah. Ia pergi dan aku mulai lagi membangun mimpi-mimpi. Sepeninggalnya, aku memutuskan untuk menempati rumah kecil itu. Berharap bisa melipur lara lewat kenangan yang kami miliki bersama di sana. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Rinduku tak kunjung sembuh. Sering aku pergi mengayuh perahu sendirian, mengitari danau yang pernah kami kitari bersama, melarungkan rinduku di sana. Sesekali, kutiru tingkah-tingkah tokoh dalam kisah fiksi itu dengan menulis surat di atas perahu kertas dan melayarkannya pada riak-riak ombak. Berharap ia berlayar jauh hingga berlabuh di tempat kekasihku berada. Namun, itu hanyalah sikap sentimental yang cenderung kekanak-kanakan, sebab kertas-kertas yang lalu basah dan memudarkan guratan rinduku itu kembali dihempaskan ombak ke pantai. Kekasihku tak pernah mengirim kabar, pun tak pernah pulang.
***
             Maka, inilah yang kulakukan sekarang. Memanggul ransel yang telah kukemas hingga larut malam kemarin. Kuarungi perjalanan selama tujuh jam demi menjenguk si penawar rindu. Kutanggungkan rasa bosan yang melanda. Kuantisipasi kejutan-kejutan yang mungkin kuterima dari kota yang tak kukenal.
            Udara pengap yang asing menyergapku ketika bus melewati gapura selamat datang. Inikah ibu kota yang diagung-agungkan itu, tempat kekasihku menjejalkan diri di antara keramaian, kebisingan, dan kepekatan polusinya? Di bagian manakah dirinya berada?
            Sebelum memulai pencarian, kupilih untuk mengenyahkan penat di sebuah kedai kopi. Kuhirup secangkir kopi hitam sambil mempelajari situasi, mengira-ngira darimana aku akan memulai rencana pencarian yang selama ini telah kurancang.
“Ada-ada saja anak  jaman sekarang,” seseorang di belakangku berkomentar.
            “Kenapa memangnya?” seorang lain menyahut.
            “Lihatlah cerita pendek ini. Seseorang, penulis perempuan, menuliskan sebuah cerita  cinta. Lumayan bagus. Yang tak kuduga, pesan yang diikutsertakan di bawahnya.”
            “Pesan apa itu?”
            “Ia memutuskan kekasihnya yang berada di kampung.”
            Kutolehkan kepala. Sekumpulan lelaki yang tampaknya para pengemudi becak motor duduk bergerombol, sarapan pagi atau minum kopi. Gemerisik kertas koran yang berpindah tangan memenuhi pendengaranku.
            “Ckckck. Tingkah anak jaman sekarang aneh-aneh memang. Baru kulihat ada yang memutuskan hubungan cinta lewat koran,” terdengar decak bercampur tawa geli.
            “Namanya juga anak jaman now,” seseorang menimpali.
            “Boleh saya pinjam korannya?” tanyaku, tak dapat menahan rasa penasaran yang sejak tadi mengusik. Aku membaca cepat kisah singkat itu. Mataku bergerak liar seolah ingin mengejar kalimat berikutnya. Kudapati cerita yang dikisahkan di sana sama persis seperti yang pernah kualami. Ditambah lagi pesan kecil yang memang ada di bawahnya, yang berisikan keputusan ingin menyudahi sebuah hubungan cinta. Tubuhku terlunglai di atas bangku kayu. Sepotong nama seperti milikku dan nama kampungku tertera di sana.
Kupikir pesan itu hanyalah sebuah lelucon, namun ketepatan nama dan kisah itu terlalu nyata untuk kusangkal. Apalagi baru terlihat olehku sebuah foto berukuran kecil di sudut halaman. Penulis itu adalah kekasihku, yang telah mengambil keputusan sepihak tanpa menghiraukan penantianku selama hampir dua tahun.
            “Ada apa anak muda? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat begitu?”
            Aku hanya membisu. Ingin kukoyak-koyak lembaran koran ini, lalu melemparnya ke tong sampah hingga menyatu dengan bau-bau busuk yang bersarang di sana.
            “Kalau kau sudah tak ingin membaca koran itu, kemarikan,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Aku juga ingin membaca cerita pendek itu.”
            Aku berdiri. Kulungsurkan bundelan koran itu ke hadapannya. Kuletakkan selembar sepuluh ribu di atas meja dan berbalik pergi. Kutinggalkan cangkir kopi yang baru kuminum seteguk. Penatku mendadak lenyap. Rinduku pudar seketika. Hanya ada amarah bercampur kesedihan yang kutahan agar tak meruap di kota ini.
Kubungkus kegalauan dalam hati ketika memesan tiket pulang. Seperti rindu, biarlah kularungkan juga kepedihan ini ke dalam danau. Kekasih, ah, mantan kekasihku, sudah memberikan jawaban. Begitu tiba-tiba, tapi aku sudah tak menginginkan penjelasan. Biarlah kuakrabi kembali kesepian bersama pohon mangga di pekarangan, sampai ada seseorang yang kelak membuatku mengakhiri kesendirian.

Medan, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar