Senin, 20 November 2017

Pekerjaan Sampingan Bagi Pecerpen [Harian Medan Bisnis, Minggu 19 November 2017]

Dok. Pribadi
PEKERJAAN SAMPINGAN BAGI PECERPEN
Oleh Dian Nangin
Aku hampir tertidur kalau saja ceret di atas kompor tidak bersiul nyaring dan memulihkan kembali kesadaranku. Dengan malas aku bangkit dari kursi bambu dan menyeret kaki menuju dapur. Kuseduh kopi untukku sendiri. Bersama cangkir yang mengepulkan uap, aku berjalan menuju pintu depan dan melayangkan pandang. Tak tampak seorangpun sejauh jangkauan mata.
Hampir dua minggu kedai kopi tempatku bekerja sepi pengunjung. Padahal dulu, aku berpikir bahwa salah satu pekerjaan sampingan paling sempurna untuk seorang penulis cerpen adalah dengan menjadi pegawai kedai kopi. Atau, mungkin kebalikannya. Pekerjaan sampingan seorang pegawai kedai kopi sebaiknya adalah penulis cerpen. Kedua pekerjaan itu saling melengkapi satu sama lain.
        Mungkin tidak ada teori yang mendukung kalimat di atas, murni pengamatan dan pengalamanku belaka. Namun,
bukankah pengalaman di lapangan kadang lebih menentukan ketimbang sekedar teori?
Sejujurnya, bekerja sebagai pegawai kedai kopi awalnya tak ada niat untuk hal lain kecuali untuk memperoleh tambahan uang. Sudah menjadi rahasia khalayak bahwa hidup dengan mengandalkan honor cerpen saja adalah sebuah lelucon, maka aku—mau tak mau—mencari pekerjaan sampingan. Dan, tampaknya tak akan ada yang mau memperkerjakan seorang lelaki yang hampir lima tahun  menggeluti dunia fiksi tanpa ijazah sarjana dan tanpa pengalaman kerja apapun. Mereka—orang-orang yang tak pernah paham tentang bidang ini—menilaiku tak lebih dari seorang pemalas karena hanya bergelut dengan kertas-kertas, buku, dan tumpukan kata dalam kepala.
Aku juga tak punya banyak pengetahuan tentang seluk beluk minuman serbuk berwarna cokelat kehitaman itu. Hanya kedai kopi di persimpangan menuju empat desa ini yang mau menerimaku. Kopi hasil ramuanku itu tidaklah begitu mengagumkan, tapi setidaknya orang-orang masih sanggup menelannya dan sejauh ini belum ada keluhan maupun tuntutan.
Dan....setelah beberapa hari menjalani pekerjaan itu, aku seolah dihujani ilham. Sembari meramu air mendidih bersama kopi, gula, dan kadang susu, telingaku tegak demi menampung beragam cerita dari mulut-mulut pengunjung yang tak henti berceloteh. Mulut-mulut yang menjelma peti harta karun bila aku cermat mendengar.
Agaknya perlu kusampaikan bahwa aku adalah tipe pecerpen yang tak begitu piawai berimajinasi. Tak juga pintar menerjemahkan kegelisahan yang menggerogoti jiwa. Namun aku amat suka bermain dengan kata-kata begitu satu dua potong ilham hinggap di kepala. Sebut aku manusia oportunis karena memposisikan diri pada kondisi yang menguntungkan. Tapi itu sah-sah saja, bukan?
       Nah, demikianlah alasan mengapa aku menganggap bahwa bekerja di kedai kopi cukup sempurna untuk pecerpen. Tapi sebaiknya jangan menjadi pemilik. Cukup menjadi pegawai saja. Bila posisiku sebagai pemilik, bisa jadi konsentrasiku diinterupsi dengan diajak duduk bersama dan terlibat dalam percakapan, meladeni perbincangan orang-orang yang kukenal hingga telingaku tak bisa mendengar dengan teliti pembicaraan kelompok pengunjung lain. Sedangkan dengan menjadi pegawai, aku harus terus sibuk tanpa ada kesempatan untuk leyeh-leyeh sejenak. Lagipula, bukankah pegawai yang baik adalah pegawai yang selalu tampak sibuk di mata bosnya?
            Namun, tentu untuk menjalani dua pekerjaan ini, aku harus memelihara dua konsentrasi yang sama tinggi. Konsentrasi yang pertama untuk melakoni pekerjaan meramu minuman dan menghidangkannya, sedangkan konsentrasi yang kedua adalah untuk mendengar celotehan setiap bibir.
            Profesi ini menawarkan kesempatan untuk bertemu banyak orang. Mungkin ada banyak titik keramaian lain yang bisa didatangi, namun mereka yang singgah ke kedai bukan sekedar orang yang sepintas lalu berpapasan denganku. Lebih dari itu. Pengunjung kedai minum biasanya tinggal untuk beberapa lama—berbeda dengan pengunjung toko pakaian atau toko elektronik. Aku menerima banyak sikap, melihat sejumlah reaksi, dan sedikit banyak mempelajari sifat. Mereka menawarkan calon tokoh dan latar yang nyaris tak terhingga sebab mereka membawa cerita dari banyak tempat dan waktu.
         Kedai kopi adalah sumur cerita yang selalu meluap, meluber. Namun tentu bisa dikatakan demikian bila kedai ramai pengunjung. Bila tidak, aku akan berakhir beradu tatap dengan gelas yang menganggur, butiran gula serta bubuk kopi yang rindu diseduh.
***
Suatu hari datanglah situasi seperti yang kusebutkan di atas; sebuah keanehan. Aku tidak tahu apakah hal serupa juga terjadi kedai-kedai kopi di luar sana. Setelah hari-hari penuh kejayaan dan usaha kedai kopi ini meraup untung yang sangat besar, tiba saat ketika semua itu berbalik seratus delapan puluh derajat.
Ketika itu kedai ramai pengunjung seperti biasa. Aku tak menemukan sesuatu yang ganjil, hingga di sela-sela kesibukan aku menyadari bahwa mereka semua berlaku bak patung. Diam, kaku, dan dingin. Mereka menyesap isi cangkir masing-masing dalam hening. Aku berusaha membuat bunyi-bunyian, namun tak ada yang menoleh atau memberi perhatian. Tak seorangpun terdistraksi.
Keadaan ini berlangsung sekian lama, hingga akhirnya keramaian itu perlahan surut. Pelanggan kedai menghilang satu persatu, tak berkunjung lagi, tak kutahu rimbanya. Omset kedai perlahan menyusut. Di luar ekspektasi. Kedai kopi yang selama ini kuanggap sebagai sumur cerita yang kujadikan sumber ide alternatif bagiku kini kering.
          Kedai kopi memasuki masa kelam ketika hari demi hari berlalu tanpa seorang pun pengunjung, tak peduli aku menunggu hingga dini hari. Tak ada apapun lagi yang bisa kulakukan, sebab segala hal yang mungkin untuk kukerjakan telah kuselesaikan. Seantero kedai bersama segala perkakasnya telah bersih. Pekarangan kembali indah setelah segala jenis rumput dan gulma kusingkirkan. Akhirnya aku benar-benar beradu tatap dengan gelas yang menganggur serta toples-toples berisi bubuk kopi yang isinya tak pernah lagi berkurang sejak kedai ini kehilangan pelanggannya.
Sekian lama bergantung pada kisah-kisah yang meluap dari bibir para pengunjung kedai, sekarang aku mati kutu, mati langkah. Aku butuh ilham penyegar. Maka aku memilih bertahan kendati pemilik kedai selaku bosku telah putus asa dan berniat menutup usaha ini. Kupelihara harapan hari demi hari, berdoa semoga semua ini akan berlalu dan masa-masa kejayaan itu kembali datang.
***
Kusesap kopi yang telah dingin seiring waktu bergulir. Aku baru menelan satu teguk ketika dari jauh tampak pergerakan sesosok manusia. Aku memicingkan mata dan serta merta bersemangat ketika ia tampak datang menuju kedai.
Seiring langkah lelaki tersebut melangkah ke arah kedai, aku sibuk memutar otak, memikirkan cara bagaimana aku bisa mengorek cerita darinya. Aku tak ingin—tak boleh melewatkan kesempatan ini. Sudah sangat lama aktivitas menulisku mandek sejak kepalaku ikut kerontang sejak sumur ide ini mengering. Maka kupasang senyum paling ramah dan wajah bersahabat ketika pengunjung  itu datang mendekat.
Namun harapanku langsung buyar ketika si pengunjung tersebut memesan secangkir kopi pahit dengan suara pelan nyaris lirih. Aku baru akan bertanya ulang ketika ia menunjuk sebaris nama pada buku menu. Lalu ia melangkah menuju meja di sudut ruang. Bahkan langkah kakinya pun senyap, padahal aku telah memperhatikan baik-baik bahwa kakinya masih menjejak bumi. Ia bukan hantu, bukan pula makhluk jadi-jadian.
Aku berpikir lebih keras, berusaha menemukan cara paling jitu agar aku memperoleh ilham dari kedatangannya. Sembari meramu secangkir kopi, dua suara dalam benakku berdebat, apa sebaiknya aku mencampur kopi pesanannya dengan beberapa tetes sianida?

Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar