Senin, 20 November 2017

HITAM PUTIH [Cerpen Remaja Harian Analisa, Minggu 19 November 2017]

ilustrasi oleh Harian Analisa
HITAM PUTIH
Oleh Dian Nangin
Pintu berderit kencang dan menghantam dinding setelah dibuka dengan sembrono oleh Ayu, pacarku. Terpaksa kuhentikan gerakan tanganku pada tuts piano yang tengah memainkan sebuah lagu yang baru separuh jalan.
Ayu duduk di sebelahku dengan nafas terengah-engah. Titik-titik keringat membuat anak-anak rambut menempel di sisi-sisi wajahnya.
“Kenapa lagi?” Ini bukan kali pertama aku menghadapi Ayu dengan mood yang sedang berantakan.
“Kacau!” katanya sambil menghembus nafas kencang. “Tiga jam sudah rapat dilakukan, tapi sampai sekarang konsep perayaan hari guru belum diputuskan.”

“Kenapa begitu?” sahutku.
“Menyebalkan. Teman-teman punya pendapat yang beda-beda. Dan, parahnya lagi, semua bersikeras bahwa pendapat mereka paling bagus. Susah untuk menyatukan suara,” jawabnya dengan wajah merengut. “Aku memutuskan untuk break sebentar.”
Benakku berusaha merangkai kata yang tepat untuk menghiburnya. Kalau tidak, bisa jadi mood-nya kacau berkepanjangan dan aku berakhir sebagai pendengar sepanjang sisa hari ini.
            “Mungkin lebih baik hidup ini dua warna saja. Hitam putih. Kayak ini...” katanya dengan tangan terulur menekan-nekan tuts piano secara acak hingga terdengar nada-nada sumbang.
            Aku menarik nafas panjang sembari membetulkan letak kacamataku. “Walau hitam putih juga  bukan berarti nggak ada keberagaman.”
            “Maksudnya?”
            “Kamu bilang hidup lebih baik dua warna kayak tuts piano ini. Tapi ia juga punya tujuh nada hingga beberapa oktaf. Kalau piano cuma punya satu atau dua nada, pasti nggak enak dimainkan dan didengar. Musik dan lagu yang dihasilkan juga nggak akan bagus.”
            “Aku nggak mengerti main piano.”
         “Kadang kamu nggak dituntut untuk mahir bermain. Sekedar bisa menikmati saja sudah cukup.”
            “Aku juga nggak tahu cara menikmati,” sahutnya datar.
            “Yah, belajarlah menikmati,” jawabku dengan kesabaran yang terjaga.
            “Kalau aku nggak ingin belajar?”
“Sayang. Sangat disayangkan. Hidup ini cuma sekali dan berlalu begitu saja tanpa kamu menikmati sebuah perbedaan.”
Aku merasa heran dalam hati. Entah apa yang dulu membuat aku jatuh cinta pada gadis berambut panjang dengan lesung pipi ini. Tak banyak persamaan yang kami miliki. Aku pecinta musik klasik dan bercita-cita menjadi pianis handal, namun ia sendiri jarang mendengarkan permainan pianoku. Bikin ngantuk, katanya.
            Sementara ia sangat gemar dan pintar beroganisasi. Tahun lalu ia terpilih sebagai ketua osis dengan kemenangan mutlak. Guru-guru menyenanginya dan prestasi belajarnya tak juga menurun walau ia juga disibukkan segudang kegiatan lain di luar kelas. Ia mudah membaur dan dikenal hampir seluruh penghuni sekolah. Sedikit berbeda denganku yang lebih suka mengurung diri di ruang musik, jadi aku bisa konsentrasi melatih kemampuanku.
            “Sudah, balik ke ruangan sana! Teman-teman yang lain pasti sudah menunggumu,” ujarku sambil menepuk punggungnya. “Jangan sampai hal-hal kecil kayak perbedaan pendapat memecah kebersamaan. Sebagai ketua osis, tentu kamu bisa menjadi penengah. Terlebih lagi ini menyangkut perayaan hari guru—teman-teman semua tentu ingin memberi ide yang terbaik dan maksimal.  Kamu pasti bisa mengambil keputusan yang bijak. Kan katanya mau jadi pemimpin yang baiikkk...”
            Ayu menghadiahiku senyum tipis. Aku yakin perasaannya sudah lebih baik, walau mungkin rasa kesal yang menggerogoti hatinya belum sepenuhnya sirna.
“Oke. Sori kalau aku udah ganggu. Kamu juga terusin latihannya. Katanya mau jadi pianis hebaaat...” ia beranjak dengan langkah ringan.
            Aku tersenyum mengiringinya keluar ruangan. Sebuah pemahaman hinggap di benakku. Mungkin tidak banyak persamaan di antara aku dan Ayu, namun sikap kami yang saling mendukung untuk hal-hal positif yang ingin masing-masing kami lakukan telah menjadi perekat dua hati kami hingga kini.
Ketika pintu telah tertutup, jemariku kembali menari di atas hitam putih tuts piano, menyelesaikan lagu yang tadi belum usai.
Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar