Rabu, 06 Desember 2017

TABIAT [Cerpen Harian Waspada, Minggu 03 Desember 2017]

ilustrasi oleh Harian Waspada
TABIAT
Oleh Dian Nangin
            Dulu aku tak paham mengapa ibuku suka cemberut dan berwajah masam bila ayah berlama-lama di kedai kopi. Dan berkali-kali. Aksi cemberut itu kemudian diikuti sikap  marah dalam diam dengan meninggalkan bantal (dan seringkali tanpa selimut) di sofa ruang tamu, lalu ia mengurung diri di kamar dan tidur sendirian.
Tinggallah ayah dengan ‘hadiah’ yang menyambutnya di sofa kala pulang. Ia memilih untuk tidak repot-repot mendinginkan hati ibu yang sedang panas dengan mengakui kesalahannya, malah menganggap itu sebagai konsekuensi yang setimpal atas kesenangan yang ia peroleh di kedai kopi. Perangai itu memicu pertengkaran lebih dalam lagi, sebab, ibu semakin merajuk karena tak dibujuk dan ayah tak juga meminta maaf.
            Sewaktu masih kecil, ayah cukup sering membawaku ke kedai kopi. Bukan aku
yang meminta untuk ikut, tapi itu dilakukan ayah semata demi meredam omelan ibuku yang selalu mengeluhkan perangai suaminya yang tak bisa menjaga anak barang sebentar sementara ia sibuk melakukan pekerjaan rumah.
            Ayah tak pernah lupa pergi ke kedai kopi, tiga kali sehari. Pada pagi hari, secangkir teh susu dan setangkup roti sudah lebih dari cukup baginya untuk melewatkan sarapan buatan istrinya. Lalu secangkir kopi sebagai pelengkap makan siang singkat di rumah yang seringkali diakhiri dengan tergesa-gesa, seolah istrinya tak tahu cara menyeduh bubuk coklat kehitaman itu. Dan bergelas-gelas teh manis, kopi susu, dan entah minuman apa lagi kala malam yang membuatnya baru ingat pulang ke rumah setelah waktu menunjukkan batas larut.
            Lambat laun, seiring usia yang terus menanjak, ibu melarang ayah membawaku serta. Tak baik dan tak sepantasnya anak perempuan selalu mengekor ayahnya ke kedai kopi, kata ibu. Namun ia tak pernah berhasil menghentikan tabiat ayah untuk pergi ke tempat para lelaki berkumpul itu. Tinggallah aku yang lalu merengek ingin ikut sebab pergi ke kedai kopi dan menikmati segelas susu beserta beragam penganan telah menjadi kebiasaan yang mengasyikkan.
***
            Dua puluh tahun kemudian, baru aku memahami ibuku lewat lelucon yang sesungguhnya tak lucu. Lelucon yang dihadiahkan hidup padaku. Aku jatuh cinta pada seorang....pemilik kedai kopi!
Tak pernah ada yang tahu bagaimana cinta bekerja, sebab ia mudah sekali membius dan membuat kepayang. Awalnya, aku tak keberatan sekalipun lelaki itu hanya memiliki sebuah kedai kopi yang telah ia rintis seusai menamatkan SMA. Walau tak memilih pendidikan tinggi, namun ia mengejar cita-cita dengan sungguh. Di mataku, ia merupakan lelaki gigih dengan idealisme sendiri dan tak ia izinkan seorang pun merusaknya.
Melihat kedai tempat usahanya berjalan menguak kembali kenangan masa kanak-kanak yang terlipat rapi dalam sudut ingatanku. Aku ingat dulu pernah ikut berbaur dengan kelompok lelaki di bangku-bangku kayu yang panjang itu, terselip di tengah sosok-sosok bertubuh besar. Terlupakan di antara serunya perbincangan para lelaki bersuara berat dan dalam, tapi tak mengapa sebab aku juga sibuk dengan gelas susu dan kue-kue di hadapanku.
Namun lalu logika datang menghampiri, menerbitkan keraguan dalam benak, sebab teringat pada ibuku betapa dulu ia pernah merana karena ayah begitu gemar menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Keraguan lain adalah apakah mungkin nanti kami bisa terus bergantung pada usaha ini di tengah gempuran usaha lain yang lebih modern dan kekinian?   
            “Selama manusia berjenis kelamin lelaki masih eksis di muka bumi ini, tempat bernama kedai kopi tak akan mati,” ujarnya meyakinkanku. “Sebenarnya, nyaris tak pernah ada orang yang betul-betul kehausan yang datang ke kedai kopi. Kopi hanyalah perantara yang digunakan untuk berbincang-bincang, sementara kedai adalah wahananya. Medianya.”
            Aku hanya manggut-manggut, namun jauh dalam sudut hati aku setuju dengannya. Sesungguhnya tak ada yang salah dengan profesi ini. Perihal penilaian baik atau buruknya tempat ini tergantung bagaimana mereka, para pengunjung, bersikap dan memperlakukan waktu mereka. Bagaimanapun juga, membuka kedai kopi merupakan salah satu ladang usaha yang dapat diandalkan untuk mengarungi hidup selama dijalankan dengan upaya maksimal.
Begitulah, aku berakhir dalam rengkuhannya. Tak ada penyesalan sebab ia lelaki yang ulet. Sesungguhnya ia mampu—bahkan lebih—untuk memenuhi segala kebutuhan kami walau aku tak ikut bekerja. Namun aku tak sanggup hanya berdiam diri, dan lagipula aku tak begitu suka terlibat dalam urusan kedai kopi, aku memilih sebuah pekerjaan yang sesuai dengan minat dan pendidikan yang telah kutempuh. Pun, lelakiku tak keberatan, maka kami asyik dengan kesibukan masing-masing.
Namun, setelah beberapa waktu berlalu, baru aku menyadari ada konsekuensi lain yang harus kutanggung demi menikahi seorang lelaki pemilik kedai kopi. Konsekuensi itu tak lain tak bukan adalah gangguan ketenangan yang berasal dari riuh perbincangan atau gelak tawa para pengunjung. Kondisi bangunan yang bertingkat dua tak juga menghindarkanku dari kebisingan itu walau rumah tinggal terpisah dari kedai kopi yang berada di lantai satu. Suara mereka yang dalam dan besar itu selalu berhasil menerobos ke atas, mengganggu malam-malamku.
Seperti malam ini. Sorakan-sorakan kencang membangunkanku dari tidur yang belum juga lelap. Dengan malas aku membuka mata dan mencoba menyesuaikan penglihatan dengan keadaan kamar yang remang. Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas lewat seperempat. Dalam hati aku mengeluh. Setelah beberapa lama menjalankan usaha kedai kopi membuatku fasih membaca keadaan dan demi mendengar kehebohan di bawah sana, aku memprediksi kalau pengunjung tak akan kurang dari dua puluh orang.
             Dari puncak tangga aku mencuri lihat. Benar dugaku, hampir tiga puluh lelaki mengerubungi televisi layar datar berukuran besar yang bercokol di dinding. Sebuah pertandingan sepakbola tampak di layar. Mata para lelaki itu lekat terpancang mengikuti pergerakan benda bundar yang berpindah cepat dari satu kaki ke kaki pemain lain. Nafas mereka tertahan seolah hidup mereka esok hari bergantung pada berapa banyak gol yang akan diciptakan oleh kesebelasan yang mereka dukung.
Di sisi lain kulihat tumpukan kartu di meja-meja, kubus dadu, sampah kulit kacang berserakan, serta ampas-ampas kopi di dasar gelas. Lebih dari itu semua, walau tak tersintesa persis di pelupuk mata, dapat kulihat istri-istri dan gadis-gadis kekasih para lelaki muda yang malam ini terabaikan. Kesepian dan tidur sendirian.
Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar