Senin, 27 Maret 2017

Lilin Ulang Tahun (Harian Analisa, 26 Maret 2017)

Ilustrasi Oleh Renjaya Siahaan


LILIN ULANG TAHUN
Oleh Dian Nangin 
Selasar itu dipenuhi orang-orang yang seakan hidup tanpa beban—apakah itu tampak luarnya saja, entahlah. Beberapa orang duduk berkelompok, tertawa-tawa dengan benda elektronik dalam genggaman. Sebagian bernyanyi-nyanyi ditingkahi petikan gitar, ditimpa cekikikan segerombol gadis yang melintas dengan tampilan modis. Sementara kau sendiri berjalan tertunduk-tunduk di sisi dekat dinding, melangkah lebar-lebar, ingin segera menyingkir karena sadar pakaian kumal dan karung kecampangmu tak cocok membaur di sana.
Orang-orang bilang ini tempat untuk belajar, serupa sekolah. Batinmu bertanya bagaimana gerangan bentuk belajar yang dilakukan di sini. Ah, kau hanya masih terlalu belia, hingga jenjang pendidikan semacam ini belum terjangkau pikiranmu.
Sekolah yang kau kenal adalah belajar di bawah bangunan yang atapnya hasil sumbangan para dermawan. Tidak mengharuskan seragam. Bertelanjang kaki pun tak mengapa. Tak ada kekangan setoran wajib. Pun para pengajarnya hanya mereka yang terlihat biasa dan selalu silih berganti, bukan guru-guru dengan
setelan mengagumkan yang biasa kau lihat di sekolah-sekolah lain.
Namun, meski nyata-nyata tak sebanding, kau tetap bersyukur karena sekolahmu juga bisa membuatmu mengerti angka dan aksara. Setidaknya memampukanmu mengeja sebaris nama yang tertera di puncak gedung di sekelilingmu, meski dengan lafal terpatah-patah.
Bi-ro Rek-tor.
Au-di-to-ri-um.
Fa-kul-tas Tek-nik.
Kau tak paham arti kata-kata itu, namun pemandangan lalu lalang orang-orang berpakaian rapi, yang terlihat sibuk dan penting membuatmu menganggap mereka pastilah sangat hebat.
Sesuatu mengusik perhatianmu. Tiba-tiba dari arah utara terdengar sorakan meriah. Sekelompok anak muda, laki-laki perempuan, serentak bernyanyi lagu ulang tahun untuk seseorang yang berada di tengah-tengah mereka. Kau memandang, iri bercampur kagum. Perhelatan dadakan di sebuah koridor berlatar taman hijau. Sungguh indah. Kau berpikir betapa senangnya si gadis berbando kelopak mawar, yang hari itu berulang tahun entah keberapa.
“Hoi!!”
Kau kaget ketika sebuah tepukan mendarat di bahumu. Bersiap mengambil ancang-ancang untuk lari kalau-kalau si penepuk adalah satpam berwajah galak yang tak pernah bermurah hati untuk mengizinkan orang-orang sepertimu duduk untuk sekedar melepas lelah di bangunan megah itu.
“Kenapa kagetmu berlebihan begitu?”
Kau berpaling. Ternyata bukan satpam, melainkan satu sosok akrab yang kemudian mengambil tempat di sisi kirimu.
“Nggak kenapa-kenapa.”
“Jangan kebanyakan melamun. Melamun itu nggak menghasilkan uang.”
             “Siapa yang melamun? Aku cuma mau duduk-duduk sebentar,” kau berkilah.
            “Kau mau ikut ngamen?”
“Duluan saja. Aku menyusul nanti.”
“Kita jumpa di tempat biasa, ya,” dia melambai riang sambil beranjak pergi. Kau hanya mengangguk, lalu mengalihkan lagi perhatianmu. Pesta itu, meski bukan milikmu, terlalu indah untuk dilewatkan. Balon gas berwarna warni. Tembakan konfeti yang semarak.
Yang berulang tahun dipakaikan mahkota kertas. Tangan-tangan jahil melumuri wajahnya dengan krim warna-warni yang dicolek dari kue. Pemborosan! Kau mencibir. Kau hanya bisa menelan ludah, menyayangkan kelakuan orang-orang yang menurutmu sudah cukup dewasa itu. Berpikir akan lebih baik krim-krim kue itu masuk ke perutmu.
Seingatmu, tak pernah ada benda bernama kue ulang tahun yang singgah di rumahmu. Hanya pernah sebuah tumpeng sederhana, itupun dibawa ibumu dari rumah nyonya tempatnya biasa menjadi buruh cuci. Namun, meski kau baru sebelas tahun, sebagai anak tertua dari empat saudaramu yang lain membuatmu mengalah dan harus puas hanya dengan beberapa suap nasi dan separuh telur rebus. Tanpa sadar kini berandai-andai, akan sangat menyenangkan bertukar posisi dengan gadis yang berulang tahun itu sekarang.
Kemeriahan pesta itu lalu bubar diiringi gelak tawa sarat bahagia. Kau menarik nafas panjang, menghela segala khayal. Giliranmu mendekat untuk mengutip gelas-gelas plastik. Menumpuknya dalam karung butut yang kau sandang seharian ini.
Sebelum bangkit, matamu menubruk sesuatu. Kau membungkuk, memungut barang itu. Batang-batang lilin yang teronggok begitu saja setelah kuncup-kuncup nyala api pupus ditiup bibir berwarna merah muda, beberapa saat lalu.
Kau genggam lilin itu bagai harta karun. Mereka mungkin menganggap benda itu sudah tak ada guna, sekedar pelengkap pesta ritual bertambahnya usia. Tapi amat bermanfaat untuk menerangi rumahmu nanti malam. Agar kau bisa belajar barang sebentar.
***
Cukup berdiri di ruang terbuka tak lebih dari dua menit, maka tak ayal ubun-ubun akan terasa seperti terbakar. Semua orang sebisa mungkin menghindar dari paparan terik yang bisa menggosongkan kulit. Namun dia tetap berdiri tegak di sana, di perempatan jalan yang seolah sudah ditakdirkan menjadi panggung abadinya. Riak peluhnya yang nyaris bagai jeram di anak sungai belum juga menggoyahkan kakinya.
            “Sudah dapat banyak?” kau bertanya sambil menyeka keringat yang membanjiri kening.
            Dia hanya menjawabmu dengan gelengan lesu. Dia—tetangga seumuran yang juga karibmu, tak lebih beruntung darimu. Kalau kau melakukan semua ini demi satu mimpi yang tumbuh dalam lubuk hati kecilmu, namun dia berjibaku di jalanan itu hanya demi senyum ibunya ketika pulang nanti, plus nasi dengan sepotong lauk. Syukur-syukur kalau ada sayur.
            Kau tak pernah mengerti bagaimana bisa seorang ibu yang sejatinya penyayang bisa berubah perangainya. Deraan kesulitan hidup telah menempanya menjadi seseorang yang begitu berbeda. Hingga dia pun dipaksa ikut membanting tulang. Dan mengamen adalah pilihannya—setidaknya ia memiliki usaha dalam mencari uang daripada harus meminta-minta. Perbendaharaan lagunya banyak, yang selalu ia keluarkan menurut musimnya masing-masing. Lagu untuk ramadhan, bulan kemerdekaan, momen natal, semua telah ia latih sebaik-baiknya.
            Dua jam berikutnya kau setia menunggui dia bernyanyi. Begitu usai, kau membentangkan rokmu yang kusam untuk menampung receh demi receh yang dia peroleh, membantu menghitung sekeping demi sekeping. Tiga puluh lima ribu. Dia lalu menemanimu menyetorkan isi karungmu ke penampung, berimbalkan beberapa lembar rupiah yang kau terima dengan senyum sumringah.           Tidak terlalu banyak memang, namun kau dan dia bisa bernafas lega hari ini.
            Sayang, langit menuliskan alur berbeda. Nafas lega kalian hari ini tak berlangsung lama, berubah menjadi nafas cekat kala dicegat preman-preman bau tuak. Kekuatan dan kecepatan yang tak seimbang. Para lelaki itu dengan mudah merampas lembar-lembar harapan dari tangan kecilmu.
“Jangan, Bang! Jangan!” Kau meronta, namun mereka tak peduli. Bahkan tak segan merogoh segala tempat yang memungkinkan bagimu untuk menyelipkan lipatan kecil selembar rupiah, tak acuh walau kau berteriak dan melawan.
Tangan tak sopan itu juga mulai mengarah ke tubuhmu, membuatmu bergidik takut luar biasa. Dia—sobatmu si lelaki kecil yang tak tahan untuk tinggal diam, maju menerjang. Membelamu dengan gagah berani. Tindakan itu berbuah dua hantaman di perut. Satu tempelengan di wajah. Pundi recehnya juga diambil paksa.
Pada akhirnya, kau dan dia terduduk lemas di depan toko yang sudah tutup. Dia nyaris menangis, namun ditahannya kuat-kuat hingga giginya bergemelutuk. Di wajah anak laki-laki itu kau dapat melihat raut mengerikan seorang wanita yang bahkan lebih kejam dari penyihir. Harapan akan senyum dan nasi dengan lauk pupus sudah.
Tak ada yang dapat kau lakukan untuknya. Uangmu juga habis dirampas dan keluargamu sejatinya tak pernah kelebihan walau hanya sepiring nasi. Bagaimana lagi? Kau hanya bisa memeluk bahunya, berbagi sakit dan sedih bersama.
Kesialan ternyata tak berhenti sampai di situ. Si pemilik toko—yang entah bagaimana bisa tahu kau dan dia sedang duduk-duduk di teras kosongnya, keluar beserta dua anjing untuk mengusir. Anjing-anjing yang seringainya lebih galak dari satpam gedung megah tempatmu singgah tadi siang. Gerungan hewan itu membuat kau dan dia berlari pontang-panting. Salakan demi salakan menggetarkan langkahmu. Dalam hati kau mencicit, kau akan belajar sangat keras. Kau harus pintar, ingin merubah hidup kelak dewasa nanti. Tidak mau menjalani hidup dengan cara seperti ini lagi.
Pekikan-pekikan pilu dia yang tiba lebih dulu, menemanimu melanjutkan langkah. Mungkin telinganya sedang dijewer atau betisnya dilibas oleh sang ibu yang tak akan mau menerima alasan apapun atas tangan kosongnya hari ini.
Entah kenapa tiba-tiba gerimis merinai, seakan ingin membasuh kesedihan yang bercokol dalam hatimu. Kau terus melangkah, dengan lilin-lilin yang terasa dingin dalam pelukan ringkih jemarimu—satu-satunya barang yang tak dirampas. Kakimu menuju ke sepetak bangunan yang dari bentuknya cukup miris untuk disebut rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar