Sabtu, 18 Februari 2017

Rumah Ufuk Timur [Cerpen Remaja Harian Minggu Pagi, November 2016]

        Suatu tengah hari, pertengahan Januari 2017, datanglah seorang petugas pos mengetuk pintu rumah saya. Wajahnya tampak lega begitu saya membuka pintu. Katanya, dia sudah beberapa kali datang dan tak ada seorang pun di rumah untuk menerima sesuatu yang dia bawa untuk saya. Tahu-tahu beliau menyodorkan selembar kertas sambil bertanya apa saya ingat sebuah media bernama Harian Minggu Pagi yang ternyata mengirimi saya sejumlah uang. Ternyata itu adalah honor atas sebuah cerpen saya yang saya sendiri tidak tahu kapan pemuatannya. Keterangan di atas kertas memang benar nama dan alamat saya. Nominalnya tidak banyak memang, tapi tentu menerbitkan rasa senang dan bahagia. Setelah saya lihat arsip di laptop maupun catatan pengiriman cerpen saya, memang ada sebuah cerpen genre remaja yang saya kirimkan ke media tersebut pada awal November 2016.
        Saya sedikit kesulitan menelusuri e-paper Harian Minggu Pagi (atau memang tidak ada, ya?). Saya hanya menemukan sebuah dokumentasi dalam sebuah blog lain yang setiap minggunya menginformasikan tulisan-tulisan yang dimuat di dalam kolom sastra dari berbagai koran di Indonesia.
       Bila teman-teman pembaca sekalian yang berlangganan atau biasa membaca Harian Minggu Pagi, mohon infonya, ya, bila di waktu-waktu mendatang cerpen saya kembali dimuat di media tersebut. Terima kasih. Selamat membaca.

dok. pribadi


RUMAH UFUK TIMUR
Oleh Dian Nangin
 
“Di rumah sakit jiwa? Ada-ada aja kamu, Mia.”
Seperti yang kuduga, Yuda pasti menolak. Tapi aku akan tetap membujuk sampai ia berubah pikiran. Kukejar langkahnya yang terburu menuju ruang musik di ujung lorong sekolah.
“You tell me that you will give your best performance tanpa mempersoalkan siapa yang nonton atau sekecil apapun panggungnya.”
Yuda tiba-tiba menghentikan langkah.
Aku sontak terdiam satu meter di belakangnya. Ia membisu sejenak demi mendengar kalimat yang menjadi ikrarnya sewaktu ia bersikukuh ingin jadi musisi dulu. Ia memulai cita-citanya itu dengan membentuk sebuah band di sekolah. Kalimat barusan adalah salah satu tekad dalam mengarungi impiannya kelak, yang kuharap bisa menggugah hatinya sekarang. Yuda berbalik hingga kini kami berhadapan.
“Tapi mereka itu orang yang udah enggak waras, Mia.”
“Iya, aku tau,” sahutku. “Tapi mereka juga manusia.”
“Apa mereka bakalan ngerti musik?”
 “Bukannya kamu bilang musik itu universal? You said music can heal pain, even change people.”
Bukan hanya Yuda, aku pun sebenarnya meyakini kebenaran kalimat itu. Aku yang selama ini acuh tak acuh terhadap musik, mulai aware sejak dekat dengan Yuda. Hingga akhirnya waktu membawaku ke sebuah pengalaman yang tak tak pernah terjadi sebelumnya. Wajah Yuda sedikit melunak sekarang.
 “Aku pikirin dulu, ya,” dia mengacak lembut rambutku, lalu melanjutkan langkah. Namun aku tahu ia baru saja berkata ya.
***
            Awalnya, tidak mudah menjadi putri seorang dokter yang bertugas di rumah sakit jiwa. Sekalipun menyandang titel dokter yang terdengar megah dan diimpikan banyak orang, namun nyatanya tempat ayah mengabdi membuat gelar itu seakan berbeda dengan dokter-dokter yang bekerja di tempat lain yang terdengar lebih normal seperti rumah sakit umum, swasta, atau klinik. Yah, setidaknya itulah yang kualami.
Sewaktu SD dan SMP aku seringkali diantar dengan ambulan atau mobil dinas rumah sakit jiwa hingga aku jadi objek ledekan teman-teman. Tapi ayah selalu bilang bahwa harusnya aku bersyukur masih bisa sekolah, masih punya jiwa dan akal yang sehat. Ibu juga berkali-kali menekankan hal itu. Hingga akhirnya aku tidak lagi ambil pusing, berpikir bahwa teman-teman yang tulus akan datang tanpa mempermasalahkan latar belakangku, lingkunganku, transportasi yang mengantarku ke sekolah, dan sebagainya.
Sejak kecil, aku terbiasa mengunjungi tempat ayah bertugas, meski saat itu pergerakanku terbatas dan diawasi. Namanya pun aku suka; Rumah Ufuk Timur, seolah menggambarkan harapan sebagaimana matahari yang pasti selalu terbit dari timur. Saking seringnya ke sana, aku jadi terbiasa dengan tingkah aneh seperti tawa mendadak tanpa ada yang lucu, orang-orang dewasa yang bermain boneka, mengoceh sendiri, melongo sepanjang hari, atau saling jambak rambut hingga tercetus pertengkaran hebat.
Ketika menginjak SMA, teman-teman mulai menerimaku karena dekat dengan Yuda. Pemuda itu adalah satu dari segelintir orang yang tidak menganggapku aneh, yang tidak risih dengan postingan-postingan media sosialku yang kebanyakan aktivitas di Rumah Ufuk Timur. Darinya pula aku belajar memetik gitar. Sedikit demi sedikit hingga aku akhirnya berhasil membawakan beberapa lagu sederhana. Aku sangat bangga meski masih tertinggal jauh dari Yuda.
            Suatu kali, aku menghabiskan waktu di Rumah Ufuk Timur, sementara ayah pergi keluar untuk beberapa urusan. Sambil nangkring di koridor yang sepi, aku mengeksplorasi lagu-lagu yang bisa kubawakan berbekal beberapa kunci yang simpel. Dengan gitar yang selalu kubawa, aku asyik bereksperimen mumpung tak ada yang mendengar dan mengeluh ribut. Lama kemudian baru aku tersadar bahwa ada sepasang mata yang memperhatikanku dari balik jeruji jendela sebuah ruangan yang semula kukira tak berpenghuni. Seorang perempuan muda berambut pendek dengan raut seakan sedang memanggul beban berat.
            “Hai,” sapaku sambil melambaikan tangan. Rasanya sedikit aneh diperhatikan oleh orang yang pemikirannya kutahu tidak seperti orang normal kebanyakan. Perempuan itu tak menunjukkan reaksi, hanya terus memandang.
            Ketika aku memberanikan diri mendekatinya, ia berbalik cepat dan meninggalkan jendela. Sejenak aku tak mempercayai penglihatanku ketika ia berbalik tadi aku melihat sepintas matanya, dan dia....menangis! Aku hanya terdiam lalu melangkah mundur, kembali ke tempat duduk sambil menerka-nerka apa yang tengah ia rasakan. Aku tahu kemampuan bernyanyi dan petikan gitarku tidaklah begitu hebat hingga bisa menyentuh dan membuat yang mendengar menitikkan air mata. Dan, memang barusan aku menyanyikan lagu mellow tanpa bermaksud apa-apa, bahkan kondisi hatiku juga tidak sedang galau.
            Kuputuskan untuk menyanyikan beberapa lagu lagi sembari mencuri lihat ke arah jeruji jendela. Perempuan itu perlahan beringsut kembali mendekati jendela. Kuputuskan untuk bernyanyi sebaik mungkin. Entah dia terhibur, atau memang sungguh tersentuh, aku tak tahu. Beberapa menit kemudian aku menyudahi permainanku. Kutinggalkan koridor sambil sesekali menoleh ke belakang. Perempuan itu berdiri di balik terali besi, mengiringi langkahku sambil menyeka air matanya.
            “Yah, pasien perempuan yang dikamar 101 kenapa?” tanyaku ketika akhirnya ayah kembali.
            “Mina? Hmm, dia jadi begitu setelah pulang dari luar negeri. Dia TKW dan sering diperlakukan dengan buruk. Waktu pulang mentalnya terganggu dan makin parah sewaktu anaknya bahkan nggak mengenal dan mengakuinya.”
            Hatiku diliputi perasaan antara ngeri dan sedih.
            “Memangnya kenapa?”
“Enggak. Aku cuma heran, waktu tadi main gitar di koridor atas, ternyata dia mendengarkan dan terlihat berbeda.”
“Berbeda bagaimana?”
“Dia sedih. Sedih seperti orang normal.”
“Oh, ya?” Ayah bergumam sambil terus sibuk dengan lembar-lembar kertas di hadapannya.
“Gimana kalau aku ajak teman untuk main musik di sini? Bukan yang besar-besaran sih, akustikan aja. Aku penasaran gimana reaksi pasien-pasien di sini sama musik,” usulku, meski sebenarnya aku hanya ingin tahu tentang reaksi Mina karena sejauh ini hanya dia yang pernah mendengarku bermain gitar.
“Boleh,” ayah mengangguk ringan. Begitulah awal mula aku kekeuh membujuk Yuda agar mau memainkan beberapa lagu di sana.
***
Yuda melangkahkan kakinya penuh keraguan. Sekilas ditatapnya plang nama Rumah Ufuk Timur di depan gerbang, seolah mengantisipasi apa yang akan ia hadapi di dalam sebentar lagi. Aku maklum karena sebelumnya aku pun seperti itu. Pasien di sini bisa mengamuk sewaktu-waktu tanpa sebab yang jelas.
Tempat untuk kami ‘manggung’ ternyata sudah disiapkan, meski hanya beberapa bangku, standing microfon rendah serta peralatan sound system sederhana. Tapi ini sudah lebih dari cukup.
Ketika kami mulai bermain, beberapa kepala menoleh ingin tahu. Usai menatap sekian menit, sebagian membuang wajah dan melakukan aktivitas lain.  Mungkin merasa tidak tertarik atau bahkan tidak paham apa yang sedang kami lakukan.
Keep going...” bisikku. Ada beberapa mata yang masih menatap. Setidaknya kami memperoleh atensi meski kami tak dapat menebak apa yang ada di dalam pikiran mereka. Kulihat Mina memperhatikanku dari balik tiang tak begitu jauh dari kami.
Kami menyelesaikan lagu dengan baik. Terdengar gemuruh tepuk tangan yang semuanya berasal dari petugas dan perawat di sana. Kulihat ayah melongokkan kepala sekilas dari ruangannya sambil mengacungkan jempol.
Tanpa diduga, Mina mendatangi kami. Yuda membeku di tempat duduk, tak tahu harus berbuat apa. Seorang perawat bergegas datang untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Bukan satu dua kali aku melihat pasien di sini bisa bertingkah liar dan tidak terkontrol pada orang yang sedang berkunjung, sekalipun mereka tidak diusik. Tapi ternyata Mina berhenti beberapa meter di depan kami, seakan menjaga jarak. Dia hanya mampu menatap kami beberapa detik, lantas menundukkan kepala.
“Terima kasih,” ucapnya pelan dengan nada rendah, namun terdengar jelas di telinga. Lalu ia berbalik dan  dengan patuh menuruti perawat yang membimbingnya kembali ke ruangan.
Yuda terbengong-bengong sesaat, lalu berbisik sambil menatap punggung Mina menjauh. “Itu ucapan terima kasih paling tulus yang pernah kudengar.”
“Aku juga,” balasku takjub.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar