Selasa, 07 Februari 2017

FRAGMEN HATI [Sumut Pos, 05 Februari 2017]

Ilustrasi oleh Sumut Pos
FRAGMEN HATI
Oleh Dian Nangin 
Pagi ini aku terbangun ketika tiba-tiba pendengaranku sudah dipenuhi berbagai suara. Sebagian mendekat, terdengar kencang. Setelah itu menjauh, sayup-sayup menghilang. Aneka bebunyian itu berupa denting mangkuk yang terus-menerus dipukul dengan sendok oleh penjual bubur, teriakan penjaja kue keliling, atau seruan lantang tukang ikan yang memancing para ibu untuk keluar rumah.
Satu yang tak ketinggalan; kokok ayam, si alarm alam yang berbunyi merdu. Aku rindu kokok ayam di pagi hari. Selama ini suara itu alpa dari telingaku karena komplek kos ketika kuliah dulu cukup sulit menemukan ayam, kecuali yang sudah digoreng dengan tepung, berkulit renyah dan mudah ditemukan di restoran fastfood—yang sudah pasti tak bisa berbunyi ‘kukuruyuk’ lagi.

Dingin. Dan, kokok ayam. Itu hanya berarti satu hal; aku sudah berada di rumah sekarang. Rumah ibu, tepatnya, di desa kecil tempatku lahir dan besar. Baru kemarin malam aku tiba, membawa ijazah sarjana dan berkoper-koper barang. Ah, Ibu. Aku kembali memasang telinga. Denting piring atau sendok terdengar beradu di lantai bawah. Perempuan itu pasti sudah sibuk sekarang.
Ibu, sosok yang sejak delapan tahun silam juga merangkap peran sebagai bapak. Orang tua tunggal dengan peran ganda. Bapak yang seorang polisi meninggalkanku dengan ibu beserta dua adik laki-laki, lalu pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Hal itu membuatku menyadari satu hal bahwa selama ini ia tidak bahagia bersama ibu, bersama kami.
Sepeninggal bapak, ibu membanting tulang demi menghidupi tiga anaknya, sekalipun dana sokongan dari bapak masih mengalir. Ibu membanting tulang dalam arti yang sebenar-benarnya. Tanpa membanting tulang, mustahil aku dapat mencecap bangku kuliah hingga meraih gelar sarjana, berbarengan dengan salah satu adikku yang kini juga sedang kuliah semester keduanya.
Sebelum menikah, ibu bekerja sebagai seorang perawat yang cekatan. Namun, setelah menikah, perempuan itu melepas pekerjaannya dan tinggal di rumah. Mendedikasikan diri sepenuhnya untuk keluarga. Ia kini kembali ke profesinya setelah berpisah dengan bapak. Di sela-sela waktu kosong ia masih sempat mengurus sepetak ladang yang diwariskan kakek padanya. Meski ia membayar orang untuk menggarap ladang itu, ia masih turun tangan dan bekerja bagai petani pada umumnya.
“Helenaaa...”
Aku kembali membuka mata yang tak sadar kembali jatuh dalam kantuk ketika seruan ibu terdengar, disusul bunyi langkah menaiki tangga. Tak lama kemudian pintu kamar sudah terbuka lebar. Ibu muncul di baliknya.
“Bukannya hari ini kamu langsung ke kantor?” ia menyingkap tirai dan mendorong jendela hingga membuka. Terasa udara dingin menyerbu masuk. 
“Mulai senin nanti, Bu. Lagipula akhir pekan begini, mana ada kantor yang buka,” sahutku sambil menguap.
Ibu adalah orang yang paling bersemangat ketika kukabari bahwa aku sudah diterima bekerja di sebuah bank setelah magang beberapa bulan, hingga ia tak sadar sekarang hari sabtu. Dan beruntungnya lagi, kantor pusat menempatkanku di kantor cabang yang tak begitu jauh dari tempat tinggal kami. Aku senang bisa kembali berkumpul dengan orang-orang yang kusayang.
“Ya sudah. Ibu mau ke ladang. Kalau nanti kamu mau keluar, kabari ibu,” katanya sambil bangkit berdiri.
Angin sangat tenang pagi ini. Matahari perlahan muncul di ufuk timur sana. Cahayanya yang cemerlang terasa hangat. Aku turun ke dapur sambil mengucek mata. Sudah sepi. Memang, rumah lebih sering sepi belakangan ini. Aku menghabiskan empat tahun terakhir untuk kuliah di ibukota, disusul adikku Gema tiga tahun kemudian, meninggalkan ibu berdua dengan si bungsu Jopi. Ibu setiap hari sibuk dengan pekerjaannya. Jopi masih SMA yang sebagian besar waktunya disita oleh kegiatan sekolah.
Alam bahkan belum seutuhnya terjaga, tapi ibu sudah berangkat ke ladang sebelum menjalani shift malam nanti. Mungkin ada beberapa pekerjaan di ladang yang tak dapat ditunda. Lelahku lenyap dan tubuh kembali berenergi setelah sarapan. Namun tak ada kegiatan berarti yang dapat kulakukan, kecuali menyiram krisan-krisan putih di pekarangan dan pekerjaan itu hanya makan waktu beberapa menit. Ibu tak pernah membebaniku dengan pekerjaan berat apalagi yang berurusan dengan mencari nafkah. Ia bahkan melarangku bekerja di ladang, hanya cukup dengan tugas rumah dan belajar yang rajin. Kini semuanya telah kutunaikan.
Aku ingin mulai membantu ibu semampuku dan aku bisa mulai hari ini. Dengan bersepeda menyusuri alam dan ditemani angin yang bertiup sepoi, kususul ibu ke ladang. Kutemukan ia sedang berbincang dengan beberapa pekerja ketika aku tiba.
“Oh, ke ladang juga, Na? Ibu pikir kamu akan keluar, entah kemana.”
Aku mengernyit, menyahut jahil. “Masih siang, Bu. Kalau mau keluar, ya, nanti malam, dong.”
Ibu mengangkat wajah, antusias. “ Dengan siapa? Kenapa tidak kenalkan pada ibu?”
Kusebutkan nama sahabat karibku yang telah lebih dulu pulang ke kota ini beberapa bulan mendahuluiku. Antusias di wajah ibu sontak padam. “Oh, Ibu kira dengan siapa...”
Aku tertawa, namun reaksi ibu tadi sedikit mengusikku. Apa ibu memang benar-benar berharap aku akan keluar malam ini bersama seorang laki-laki?
Aku mengekori langkahnya menuju ujung ladang, melewati beragam tanaman hijau yang menyegarkan mata. Aku mengambil tempat di sisi ibu yang telah berjongkok dan dengan dinaungi satu payung untuk berdua, kami mulai mencabuti rerumputan yang menyesaki tanaman kubis yang masih kecil-kecil.
 “Bertemanlah dengan lelaki baik-baik, ya, Na. Kenali dulu dia secara mendalam sebelum melangkah lebih jauh. Supaya tidak menyesal nanti di kemudian hari,” ujar ibu membuka percakapan, seolah ingin melanjutkan topik di awal.
Aku ingin berkomentar iseng. Namun, ada keseriusan yang kutangkap dalam nada bicara ibu. Kami tak banyak membicarakan romansa sebelumnya. Sejak perpisahannya dengan bapak, aku berikrar dalam hati bahwa fokusku adalah pendidikan, lalu kebahagiaan ibu. Meski begitu, aku juga tak menampik bahwa hati ini berharap ada cinta yang manis akan menghampiri suatu hari nanti.
Di sela-sela kecekatan tangannya mencabuti rumput, ibu memandangku sekilas. “Tidak terasa, anak ibu sudah dewasa sekarang. Mungkin sebentar lagi juga pergi menikah, membangun keluarga sendiri, meninggalkan ibu.”
Dalam benakku yang masih menapaki usia dua puluhan, apa yang diutarakan ibu terasa masih jauh. Menikah muda bukan bagian dari daftar cita-citaku.  Aku tidak terlalu terobsesi membangun hubungan, setidaknya untuk saat ini. Ketika berumur belasan, aku dengan santai menonton teman-temanku jatuh hati, pacaran, patah hati, lalu jatuh hati lagi. Meski demikian, aku sebenarnya belajar banyak. Terutama dari kisah romansa ibu, yang sepanjang perjalanan hatinya hanya mengenal satu cinta. 
“Ibu sangat mencintai bapak...”
Aku terpekur, diam mendengarkan alur pembicaraan kami yang mendadak berbelok.
“....dulu. Ya, dulu ibu sangat sayang sama bapak.”
Kupandang wajah ibu. Muram, menyimpan sejuta kisah yang sepertinya akan ia tumpahkan sebentar lagi. Aku memilih menjadi pendengar yang baik dan menahan semua pertanyaan yang kini muncul satu persatu.
            “Apa kamu tahu, dulu, Ibulah yang pertama kali menyatakan cinta pada Bapak?”
            “Oh, ya?” Menarik sekali. Baru sekarang aku mendengar cerita ini, karena baru sekarang pula ibu mengakuinya. Sekilas ibu tersenyum. Pasti teringat kembali momen-momen manisnya ketika muda dulu bersama bapak.
            “Waktu itu kami kelas tiga SMA. Sebenarnya ibu sudah suka padanya sejak kelas dua. Kami dekat. Ibu sudah berusaha menunjukkan sinyal padanya.”
            Aku tersenyum sendiri, membayangkan ibu dan bapak melakonkan cerita itu dengan busana putih abu-abu, bertahun-tahun silam.
            “Ketika acara perpisahan, Ibu memberanikan diri mengatakan pada Bapak, bahwa Ibu sudah suka padanya sejak lama.”
            “Terus?” Jelas, aku penasaran.
            “Bapak menerima Ibu. Tak ada hal lain yang bisa membuat Ibu sebahagia waktu itu. Bapak waktu itu ingin jadi polisi. Ibu rela menunggu bertahun-tahun, hingga impiannya terwujud, hingga akhirnya kami bisa bersama.”
            Aku terdiam, menyimpulkan sendiri bahwa ibu adalah wanita yang setia. Tapi setelah bertahun-tahun penantian, yang tersisa untuknya sekarang hanyalah kesendirian. Kesepian. Ditinggal cinta. Dan ia tak pernah memilih untuk menikah lagi.
            “Tapi pada akhirnya, Bapaklah yang tidak mempertahankan Ibu. Tidak ada gunanya kami hidup berdua di bawah atap yang sama kalau sudah tidak merasa nyaman antara satu sama lain.”
            Aku kembali sibuk menekuni gulma-gulma, meski pikiranku fokus pada cerita ibu.
            “Percuma Ibu yang terus mengejar Bapak, hidup di belakang bayang-bayangnya. Sementara Bapak terus melangkah, menoleh pun tidak barang sedikit. Melelahkan hidup seperti itu. Malah Ibu lega setelah perpisahan itu. Ibu yakin Bapak juga merasakan hal yang sama.”
            “Bagaimana bisa Ibu yakin?”
            “Coba kamu bayangkan. Seperti dua anjing yang kejar-kejaran, yang berlari sama kencangnya. Yang mana yang tidak merasa capek?”
            Pelan namun pasti, aku mengangguk. Ibu benar. Keduanya pasti merasa lelah, yang mengejar maupun yang dikejar. Memilih melepaskan dan membiarkan bapak terus melangkah telah membuatnya lega, sekalipun aku yakin hati ibu pasti perih ketika merelakan orang yang ia cintai pergi.
            Aku ingat. Begitu bapak hengkang dari rumah, ibu segera menangkupkan foto-foto bapak. Lalu Ibu menyediakan satu hari khusus untuk membenahi rumah, membuang barang-barangnya yang sengaja ia tinggal (atau mungkin tidak ia perlukan lagi), hingga mengeksekusi tanaman dan bunga-bunga yang ditanam bapak di halaman depan, meski beberapa mawar dan bougenvil sedang mekar saat itu. Ia layaknya seorang perempuan yang awalnya jatuh cinta setengah mati, namun kemudian berubah jadi pembenci sepenuh hati.
Banyak tanya yang muncul tanpa pernah kutemukan jawabnya. Tapi seiring berlalunya waktu, satu persatu kebenaran menguak tepat pada waktunya nanti.
“Lalu, apa Ibu sudah memaafkan Bapak?”
Ibu hanya mendehem, lalu terdiam. Lama. Tampak matanya berkaca-kaca, membuatku menyesal telah bertanya. “Ibu sudah maafkan, tapi tak akan pernah bisa melupakan.”
Sungguh sedih ketika mendengar kalimat itu. Dalam hati aku berjanji, akan mempersembahkan kebahagiaan berlipat bagi ibu untuk membayar masa lalu hatinya yang begitu pedih. Entah dengan prestasi kerjaku, perilaku baik, atau dengan kehidupan masa depan yang tak akan mengecewakannya.
“Sudah mau sore. Pulang, yuk,” Ibu menyela monolog dalam hatiku. Kami memandang hasil kerja yang cukup luas meski diselingi dengan kisah-kisah yang telah silam. Aku tersenyum puas telah membantu meringankan pekerjaan ibu, juga menjadi tempat curahan hatinya.
Ibu menolak ketika aku ingin memboncengnya, namun aku memaksa dengan mengklaim bahwa aku cukup kuat. Akhirnya ibu mengalah dan duduk di belakang. Tangannya melingkari pinggangku. Mentari jelang petang bersinar cerah dan hangat, memantulkan jingga keemasan di langit barat, mengiringi putaran roda sepeda yang kukayuh penuh tenaga.
Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar