Senin, 02 Oktober 2017

JATAH [ Cerpen Harian Banjarmasin Post, 01 Oktober 2017]

ilustrasi oleh Harian Banjarmasin Post

JATAH
Oleh Dian Nangin
Pur melongokkan kepalanya ke luar barisan dan mendapati bahwa antrian masih cukup panjang di depan, pun jauh mengular di belakangnya. Ia tak paham apa sebab musabab angka kematian di penghujung tahun ini cukup tinggi, entah mengapa pula mereka terpilih sebagai jiwa-jiwa yang tak diizinkan melangkah ke tahun yang baru. Sementara manusia-manusia lain masih punya waktu untuk meneruskan hidup, mereka justru terjebak dalam antrian sebelum menerima keputusan akan melangkah ke dalam surga atau mendekam di neraka.
Namun menunggu dalam antrian itu tak serta merta membuatnya bosan, sebab ada sebuah layar yang cukup lebar terpasang jauh di depan, mempertontonkan semacam rekaman kehidupan. Berbagai tingkah dan tindak-tanduk
seseorang semasa hidupnya diputar di sana, berlaku sebagai pertimbangan Tuhan sebelum memutuskan tempat yang layak bagi mereka. Cukup menghibur menyaksikan hidup orang lain, sekaligus juga was-was menunggu rekam jejak hidup sendiri dipertontonkan.
Melihat deretan jiwa-jiwa yang berjejer di depan dan belakangnya, Pur berkecil hati. Ia merasa terkucil berada di tengah-tengah mereka yang semasa hidupnya tergolong ‘orang besar’. Apalah ia dibanding pemuka-pemuka agama, para politisi, anggota dewan, profesor-pengusaha-orang hebat dan penting lainnya. Ada pula seorang lelaki yang menemui ajal ketika sedang melakukan sembahyang di rumah ibadah. Ia mengenalnya karena lelaki itu menjadi perbincangan belakangan ini. Sebuah kematian yang istimewa, kata orang-orang.
Tiba-tiba ia menyesalkan mengapa akhir hidupnya berbarengan dengan ‘orang-orang besar’ itu. Kalau Pur meninggal bersamaan dengan para pengayuh becak, kuli-kuli kasar di pasar, pengemis-pengemis di lampu merah, para pemulung atau mereka yang masuk golongan wong cilik lainnya, barangkali perasaannya akan lebih baik.
Para pembesar setiap tahun punya agenda untuk bagi-bagi amplop pada anak-anak yatim. Para politisi telah berlelah-lelah menguras keringat demi kepentingan khalayak namun masih berbaik hati untuk menyumbang sembako gratis untuk kaum tak mampu. Para orang pandai dan profesional lainnya sibuk dengan pekerjaan mereka memberi dedikasi terbaik bagi nusa dan bangsa. Pemuka agama semasa hidupnya dihabiskan hanya untuk mengabdi pada Tuhan—sudah pasti akan menerima tempat terbaik.
Pur merasa tak melakukan apapun yang cukup berarti untuk disandingkan dengan segala yang telah dilakukan orang-orang besar itu. Pur juga tak dapat memahami bagaimana cara kerja Tuhan hingga memiliki semua rekam jejak milyaran manusia di bumi sana. Kalaupun ada semacam kamera milik Tuhan yang ditempatkan entah dimana untuk mengabadikan kehidupan manusia, bisa jadi ia tak tampak dimanapun, sebab ia demikian kecil, tersisih, dan tak penting. Ibarat dalam sebuah drama atau lakon sandiwara, ia tak akan dapat peran apapun. Maka ia mengingatkan diri agar tak kecewa bila kelak Tuhan dan para punggawa-Nya tak begitu memperhitungkannya.
“Purnama Sati...!” Perempuan itu mendengar namanya disebut. Gilirannya akhirnya tiba setelah penantian panjang yang dilalui penuh kesabaran. Ia menunggu dengan gugup sekaligus penasaran, seperti apa kehidupannya selama ini dalam pengamatan Tuhan.
Menutup usia di angka tujuh puluh tahun telah memudarkan ingatan Pur akan masa kecil dan remajanya. Tak ada yang istimewa dan patut dibanggakan mengenai hidupnya. Ia mewarisi kesederhanaan yang diturunkan oleh orang tuanya. Barangkali ada satu dua hal pahit yang terjadi untuk mewarnai kebahagiaannya yang juga tak seberapa. Hidupnya sungguh datar-datar saja sekalipun ia berusaha melakoninya dengan baik. Namun peristiwa-peristiwa getir yang terjadi beberapa tahun belakangan masih kental dalam ingatannya, seolah baru terjadi kemarin.
Setelah beberapa tahun menikah, suaminya selingkuh dan menikah lagi. Pur memilih bercerai. Ia juga tak dianugerahi seorang anak. Pur menghidupi diri dengan menjual aneka gorengan di depan sebuah gang kecil kumuh sarat rumah-rumah kos mahasiswa yang kuliah di sebuah universitas tak jauh dari sana.
Pur tak punya keterampilan lain kecuali memproduksi makanan berminyak itu, yang cenderung dihindari orang-orang. Paling-paling yang membeli hanya tetangga yang sama melarat dengan dirinya—yang selalu memakan dua potong namun hanya mengaku satu, atau para mahasiswa miskin yang keuangannya lebih sering minus dan kerap mengutang padanya. Merekalah orang-orang yang mengesampingkan panduan makan sehat dan tak punya pilihan selain menjejalkan makanan berminyak-minyak tersebut ke dalam lambung agar tak terdengar senandung musik keroncong.
 Demikianlah profesi yang Pur tekuni selama bertahun-tahun. Profesi yang tak memberinya kemapanan. Berbeda dengan para pembesar yang kebanyakan status dan taraf hidupnya kian meningkat dari tahun ke tahun, Pur malah semakin terpuruk. Tren hidup sehat dan kemajuan teknologi kian memurukkan usahanya. Saat orang-orang tak lagi perlu repot-repot melangkah keluar rumah demi urusan perut, warung sederhana Pur hanya disinggahi orang-orang gila yang banyak berkeliaran di lingkungannya.
Pur menunduk, entah malu entah sedih. Seperti duganya, sungguh tak sebanding ia dengan para pembesar itu. Ia tak akan pernah jadi pahlawan hanya karena beberapa potong gorengan yang ia berikan pada manusia-manusia kumal dan kelaparan itu. Memang benar bahwa ia adalah seorang janda, namun orang-orang gila itu bukan nabi. Pur memberi mereka makan tanpa dijanjikan mukzijat yang menjamin persediaan tepung dan minyaknya yang tidak seberapa tak akan pernah habis.*
Namun, walau berkali-kali kehabisan modal, ia mampu bertahan meski pelanggan tetapnya sebagian besar adalah orang-orang gila itu. Tiap kali mereka datang mengulurkan tangan, Pur pun memberi tanpa menerima bayaran atau sekedar ucapan terima kasih. Kadang tak ia sadari bahwa dengan hati ikhlas ia telah menyisihkan jatah untuk manusia tak berakal sehat itu. Mereka adalah jiwa-jiwa yang tak terjamah tangan para pembesar yang dermawan, luput dari perhatian para politisi, dan jarang dimasukkan dalam daftar doa si pemuka agama. Hanya segelintir orang yang menaruh peduli pada mereka.
“Surga...!”
Pur terhenyak mendengar keputusan itu. Hatinya penuh syukur dan bahagia tak terperikan. Dugaan bahwa Tuhan mungkin tak memperhitungkannya ternyata salah besar, malah Tuhan telah menyediakan upah atas segala yang telah ia lakukan berupa jatah surgawi. Ke sanalah Pur pergi, bergabung dengan jiwa-jiwa yang semasa hidup lurus dan jujur jalannya.
Medan, 2017
CATATAN: *Mengacu pada kisah tentang seorang janda di Sarfat dengan Nabi Elia yang tertulis dalam Perjanjian Lama kitab 1 Raja-Raja pasal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar