Senin, 11 September 2017

RAHMAT [Cerpen Harian Waspada, Minggu 10 September 2017]

Ilustrasi oleh Harian WASPADA

RAHMAT
Oleh Dian Nangin
—Untuk abangku, R.E. PA

Lama kupandangi wajah lelaki ini. Namun ia seakan acuh tak acuh padaku, lebih memelihara keintiman bersama sebatang kretek dan asap putih yang bergulung-gulung di udara usai ditiupkan kuncup bibirnya.
Kuteguk kopi hitam yang mulai dingin dan serta merta aku mengernyit.
“Terlalu pahit?” Ternyata ia menangkap reaksiku.
“Sedikit. Tapi enak, kok,” jawabku.
Aku terbiasa mengonsumsi kopi sachet, sesekali pergi ke kafe demi secangkir kopi dengan gula dan krimer ramuan barista profesional. Kini lidahku terkaget-kaget ketika diserbu minuman dengan nama yang sama tapi rasanya begitu berbeda. Namun ada sesuatu di balik kopi ini yang membuatku mampu meneguk dan menyesap esensinya. Sebab kopi ini ditanam sendiri oleh lelaki ini, diolah sendiri pula dengan cara tradisional. Ia juga memaksa untuk menyeduh sendiri dan menghidangkannya bagiku.
“Kau begitu jarang datang. Biarkan aku menjamumu,” katanya beralasan.
Diam-diam aku dilanda haru. Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap di hati. Pekerjaanku di kota begitu serakah, menyita sebagian besar waktuku dan hanya menyisakan sedikit kesempatan pulang ke kampung untuk menengoknya.

Di sinilah kami berada: duduk mengaso di beranda pondoknya sambil menikmati pemandangan sawah yang menghampar luas. Menonton tarian pucuk-pucuk padi yang meliuk-liuk dipermainkan angin. Lelaki ini melepas lelah usai bekerja separuh hari, sementara aku larut dengan pikiranku sendiri.
Walau kami berasal dari rahim yang sama, namun hidup kami bergulir ke arah yang berlawanan di segala aspek. Bertahun-tahun lalu aku dikirim ke kota untuk mencicipi aneka bentuk peradaban, hingga akhirnya terjerat di sana entah untuk berapa lama. Sementara dia di sini bergelut dengan dunianya sendiri. Dia memilih tidak pergi. Tetap di tempat sebagai tujuanku kembali, untuk kudapati. Dia setia menunggu dan tak beranjak kemana-mana. Aku tak perlu mencari.
 Perbedaan yang begitu kentara sering menimbulkan sejumlah tanya dalam benakku.
 “Mengapa kau tidak terlahir sebagai saudara laki-lakiku yang modern?”
“Mengapa tak kau raih pendidikan tinggi agar kau berakhir sebagai pemimpin perusahaan multinasional, mondar-mandir dengan mobil berkilat, lalu lalang dari satu negeri ke negeri lain, memanjakan orang tua dan adikmu dengan kelimpahan seperti yang dilakukan orang-orang kaya itu?”
“Akan jadi apa atau siapa kita kelak di kehidupan mendatang? Apa kita mampu saling mengenali lagi? Akankah kau masih jadi saudaraku?”
Namun semua pertanyaan itu hanya sebatas terucap dalam hati. Sebab mustahil menggugat takdir yang telah tertoreh bahkan sebelum jiwa-jiwa yang kini hidup terlahir. Tak ada yang dapat dilakukan selain menerimanya dengan ikhlas serta menjalaninya baik-baik. Bagaimanapun bentuk dan rupa hidup yang diberikan, ia tetaplah karunia dan rahmat yang dianugerahkan Sang Pencipta.
Dan inilah kenyataan takdir lelaki ini yang alurnya telah tergurat; seusai menjalani pendidikan hingga menengah atas, ia meneruskan pekerjaan para pendahulu kami yakni menggarap beberapa petak ladang dan sawah warisan. Bergelut dengan lumpur dan peluh. Itulah akhir yang dipilihkan semesta ini untuknya.
Ruang gerak yang terbatas membuat ruang pikirnya pekat oleh kabut ketidakpahaman—ia setengah tak peduli dengan apa yang tengah berlangsung di belahan bumi lain. Selama ini aku berpikir bahwa ketidaktahuan adalah sebuah pasung tak kasat mata yang menjerat kaki manusia dengan kekolotan, menyulitkan orang-orang untuk unjuk eksistensi. Namun, tatkala menatap wajahnya, ketidaktahuan menjadi sebuah berkah yang membentenginya dari perangkap-perangkap dunia yang licik dan banyak menuntut.
Di telaga mata lelaki ini aku bercermin. Kudapati pantulan seorang perempuan modern yang tersuruk-suruk berkejaran dengan waktu, berambisi besar, bercita-cita angkuh ingin menaklukkan dunia, tergopoh mengikuti perkembangan teknologi, dan kadang pusing oleh dunia yang perputarannya cepat berdesing. Sementara dia di sini diam tenteram dalam kesederhanaan, tak terusik oleh hiruk pikuk dunia, hidup dan menjadi tua dalam kebersahajaan.
Dia tak butuh  lampu sorot, sebab dia pun tak ingin mencuat di panggung gemerlap dunia dan menjemput puja puji—atau menuai caci maki. Kadang, aku ingin masuk ke dalam kepalanya dan menengok apa yang ada di sana. Aku ingin melihat dunia lewat matanya, mencari makna hidup dari sudut pandangnya.
            Kepulanganku yang begitu jarang ini menjadi momen bagi kami melepas rindu, sekaligus kesempatan bagiku untuk sejenak menjenguk diriku yang dulu. Sebab, seberapa jauh pun kaki ini melangkah, dari sinilah aku bermuasal. Di tempat ini tertinggal jejak masa kecilku, terikat bersama seorang lelaki sederhana yang hingga kapanpun simpulnya tak akan bisa diurai—tak ingin kuurai.
Suara gemercik air dari sungai kecil di samping pondok, kaok burung di kejauhan yang terdengar sayup, berpadu dengan kerik serangga-serangga tak terlihat memanjakan organ pendengaranku. Di kota, aku terbiasa menyumpal telinga dengan earphone, menimpanya dengan musik berdentum-dentum demi menghindari pekik berisik dari sekitarku. Sebuah kenyataan menyedihkan bahwa kadang diriku tak punya ruang tenang.
Memang aku juga mengoleksi suara-suara alam di ponsel yang kuunduh dari internet, namun semua itu hanyalah hasil rekaman sekian menit yang konsisten. Setelah beberapa kali diputar ia menjadi mudah ditebak, membosankan, dan palsu. Tak ada yang dapat mengalahkan orisinalitas yang disediakan sendiri oleh alam ini. Walau hanya beberapa jenak, kupuaskan telingaku dengan orkestra alam yang mungkin lama baru bisa kutemui lagi.
Bersama kunjungan ini, aku membawa oleh-oleh berupa sebentuk peradaban yang berada dalam sebungkus roti sobek. Berharap lidah lelaki ini bisa beradaptasi dengan baik, melupakan sejenak rasa jagung rebus atau keladi kukus.
“Enak,” katanya berkomentar, menikmatinya bersama kopi racikan sendiri.
Aku tersenyum, bersyukur ia menyukainya. Kuulurkan tangan, ikut mencicip meski roti sejenis ini telah ratusan kali singgah di mulutku. Rasanya pun telah menjadi begitu biasa dibanding beragam roti modern lain yang pernah kumakan. Namun kali ini, bersama lelaki yang kusayangi dan di hadapan alam tempat segala makhluk hidup bersumber, rasa roti yang  telah biasa ini menjadi ribuan kali lebih nikmat.
Ah, aku sadar bahwa aku memang tak sepatutnya menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan tak penting tentang perbedaan kami. Tak seharusnya aku mendambakan apa yang tak pernah ditakdirkan terjadi pada lelaki ini; memiliki mobil berkilat atau oleh-oleh dari negeri antah berantah. Ungkapan kasih sayang lewat secangkir kopi dan kesempatan untuk menikmati roti bersama-sama sudah lebih dari cukup.
Setelah pertemuan ini, akan ada lagi bentangan jarak dan waktu yang memisahkan kami. Dan aku tahu, aku akan merindukan bintik-bintik kecokelatan yang menghiasi wajahnya.
                                                                                                                                             Medan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar