Senin, 22 Mei 2017

KEDAI KOPI REPUBLIK INI [Cerpen Medan Bisnis, Minggu 21 Mei 2017]

ilustrasi oleh Medan Bisnis

KEDAI KOPI REPUBLIK INI
Oleh Dian Nangin
            Telingaku terjaga, samar menangkap beberapa suara. Sayup awalnya, namun semakin aku sadar semakin jelas suara itu terdengar. Kupaksa tubuhku bangun. Ternyata yang kudengar adalah kombinasi gelak tawa yang ditimpali sahut menyahut suara berbincang, memaksaku menyudahi mimpi yang belum lagi usai.
            Pukul lima pagi kurang seperempat. Suara berisik itu semakin menjadi-jadi. Dengan mata setengah membuka, aku melangkah menuju pintu depan. Kulongokkan kepala begitu daun pintu terkuak.
            Hebat! Bahkan anak-anak ayam pun belum bangun, tapi sekumpulan lelaki telah bercokol di kedai kopi. Apa yang mereka lakukan di sana sepagi ini? Arisankah? Aku menoleh ke kanan kiri, bingung. Tidak ada orang yang keluar dari deretan rumah kontrakanku. Hanya aku yang terganggu sebagai penghuni baru, ataukah para tetanggaku sudah terbiasa dengan keadaan ini?
***
‘Warung Sarapan Bu Tatiek’
            Itulah yang tertulis di bagian teratas sebuah etalase kaca
yang bertempat di bawah kanopi samping kedai kopi yang berisik itu. Seorang wanita berjilbab, kuduga bernama Bu Tatiek, tampak sibuk. Namun ia tetap menyambutku dengan senyum ramah.
            “Lontong sayurnya satu, ya, Bu.”
“Baru pindah ke sini, ya?” alih-alih menjawabku, ia malah bertanya.
            Aku mengangguk. Melihat posisi kedai yang berhadapan tepat dengan jalan masuk ke kompleks kontrakanku, ia pasti sudah hafal dengan wajah-wajah yang biasa keluar masuk kompleks itu. Aku maklum ia merasa tidak familier denganku. Sembari menunggu, aku memandang berkeliling, mencoba mempelajari lingkungan baruku ini.
Kedai kopi ini layaknya warung kopi biasa, tempat para lelaki nongkrong, melepas lelah sambil minum kopi, atau sekalian bergunjing. Kulihat dua orang duduk berseberangan dengan gelas kopi yang mengepulkan uap di hadapan masing-masing. Keduanya tampak berpikir keras dan menatap serius papan catur di hadapan mereka. Tapi ternyata telinga mereka masih dapat menangkap percakapan rekannya dan sesekali ikut berkomentar.
“Republik ini, Bung, takkan jalan kalau pemimpinnya macam dia,” ujar seorang lelaki bertubuh tambun. Dia duduk santai di atas bangku kayu panjang. Kaki kanan dinaikkan dan matanya fokus menatap layar televisi yang diletakkan tinggi di pojok kanan kedai.
“Ya! Aku setuju, Bung. Dia bukan orang politik. Sementara Republik ini keras politiknya. Mau dibawa kemana nanti Republik ini kalau dia tak berpengalaman?”
            Aku heran, bagaimana bisa mereka seenaknya berkomentar? Dengan sembarangan menilai para calon pemimpin bersahaja itu? Tahu apa mereka tentang calon-calon pemimpin tersebut? Sementara mereka sendiri, aku yakin, belum menjadi pemimpin yang baik bagi rumah tangga mereka masing-masing kalau hanya bisa bercokol di kedai kopi. Sudah sesiang ini, tapi masih belum ada di antara mereka yang angkat kaki. Apa mereka tidak bekerja?  
Setelah menerima pesananku dan membayarnya, aku bergegas pulang. Kuletakkan sarapan di meja. Pena dan kertas menarikku lebih kuat. Tak dapat kubendung lebih lama lagi aliran kalimat yang membanjiri kepalaku.
***
Aku semakin rajin ‘mengunjungi Bu Tatiek’ dengan maksud agar bisa memperhatikan gerak-gerik dan mencuri dengar percakapan para lelaki itu. Mereka selalu berkumpul dan berteman baik, seolah punya dunia sendiri apabila sudah bersama duduk melingkari meja tripleks itu. Kedai kopi tak pernah sepi, selalu dipenuhi perbincangan seru, gelak tawa, dan denting sendok yang beradu dengan gelas-gelas kopi.
Tak peduli panas terik, hujan bahkan badai sekalipun, tidak pernah seharipun mereka absen di sana. Berbicara seenaknya, sebebasnya, dengan kata-kata yang langsung terlupakan seiring dengan tegukan demi tegukan mengaliri tenggorokan. Lalu mereka membubarkan diri, bersamaan dengan mengendapnya ampas bubuk kopi di dasar gelas.
            Aku jadi hafal wajah-wajah yang sering nongkrong di sana, juga tempat duduk masing-masing, karena nyaris mereka duduk di bangku yang sama, formasi yang mungkin terbentuk secara tidak langsung. Maka aku juga dapat mengetahui lelaki yang mana tidak datang atau datang terlambat. Sesekali ada beberapa pengunjung baru, yang datang dan pergi tanpa bergabung dengan kelompok lelaki itu.
            Kini, akupun sudah terbiasa dengan kebisingan yang mereka ciptakan. Alarm pembangun, begitulah aku menyebutnya. Seperti pagi ini, tanpa menggerutu aku langsung terbangun begitu mendengar gelak tawa mereka. Padahal, jangkrikpun masih mendengkur dan ayam belum berkokok. Dalam hal nongkrong di kedai kopi, mereka telah mengalahkan makhluk paling pagi sekalipun.
Topik mereka pagi ini seru, tentang salah satu anggota dewan yang tengah malam kemarin tertangkap basah sedang menerima uang suap.
            “Bodoh sekali dia, tidak memikirkan taktik yang jitu.”
            Seperti biasa, aku memasang telinga sementara Bu Tatiek membuatkan sarapanku.
            “Ya. Di Republik ini, salah langkah sedikit saja langsung diciduk. Harusnya dia membuat banyak rencana matang sebelum beraksi. Bukan begitu, Bung?”
            Seorang bocah laki-laki berseragam merah putih lengkap dengan ransel butut menggantung di punggung. Bocah itu memasuki kedai kopi dan langsung menuju seorang lelaki yang duduk berselimutkan sarung sambil bersandar di dinding kedai. Ia mengulurkan tangan, meminta ongkos ke sekolah.
            “Rajin belajar, ya, Nak. Biar kamu pintar dan tidak seperti anggota dewan yang goblok itu.”
            Para lelaki itu tergelak. Bocah yang tidak mengerti apa-apa itu segera pergi setelah mencium tangan ayahnya, dengan beberapa lembar rupiah dalam genggaman.
            Aku meralat dalam hati,” Rajin belajar, ya, Dik. Supaya kamu pintar dan kelak ketika dewasa nanti kamu bisa lebih baik dari ayahmu!”
***
            Dering pendek ponsel membangunkanku. Sebuah pesan singkat masuk, berisikan konfirmasi dari redaksi sebuah surat kabar bahwa karyaku telah dimuat. Honor bisa diambil mulai besok. Spontan aku terduduk, kantukku hilang tak bersisa. Ha! cerpen itu berhasil!
            Dengan langkah ringan dan hati riang, aku menuju warung Bu Tatiek, berniat membeli sarapan kendatipun waktu kini menunjukkan pukul sepuluh pagi—sudah cukup siang untuk sarapan. Seperti biasa, para pengunjung setia kedai kopi telah mendahuluiku. Mereka sudah bertengger di ‘singgasana’ masing-masing.
            Aku menatap etalase dan bingung menentukan pilihan, sementara di belakangku terdengar lembar koran yang lebar dibolak-balik diselingi suara berbincang. Bolehlah aku memanjakan diri sedikit dengan dua macam lauk untuk sarapanku pagi ini, berhubung keuanganku sedang membaik.
“Besar sekali uangnya?! Pasti karena sedang tanggal muda, ya?” tanya Bu Tatiek ketika kusodorkan selembar uang seratus ribu rupiah. Aku tersenyum, tak menampik ataupun mengiyakan. Dalam hati aku mengucapkan terima kasih untuk lelaki-lelaki yang sedang asyik menyeruput kopi itu, yang telah memberiku inspirasi yang jenius.
“Sebentar, ya. Ibu ke dalam dulu untuk mengambil kembaliannya.” Aku mengangguk, dan Bu Tatiek dengan cepat menghilang ke dalam rumah untuk menukar uangku menjadi pecahan yang lebih kecil. Aku memandang sekitar dengan kantong kresek di tanganku sambil menarik nafas panjang. Betapa cerahnya hari ini!
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah suara. “Lihat, Bung, cerita di halaman paling belakang. Rasanya aku mengenal percakapan yang diceritakan di sini.”
            Berikutnya, gemerisik koran yang dibuka cepat dan hampir serempak terdengar memenuhi telingaku.
            “Kedai Kopi Republik ini?” seseorang bertanya dengan suara berat. “Aku ingat pernah mengucapkan kalimat ini. Kenapa bisa sama persis begini? Terlalu kebetulan untuk sebuah kebetulan.”
            Jantungku tiba-tiba berdegup dengan ritme yang lebih cepat. Itu cerpenku. Tak kusangka surat kabar yang memuat cerpen itu juga beredar hingga ke kedai kopi ini. Ah, kenapa aku tak sampai berpikir sejauh itu?
            “Katrina Sari, Mahasiswa Fakultas Sastra?”
            Aku terkesiap. Namaku  dibubuhkan bersama cerpen itu. Perasaanku tidak enak. Aku kian gugup, tak berani menoleh ke belakang dan merasa Bu Tatiek terlalu lama mengambil uang kembalian untukku.
Medan, 2015-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar