Senin, 27 Mei 2013

Life Is A Choice


Sewaktu SMA, aku satu sekolah dengan seorang tetanggaku (cowok), dan sebenarnya kami masih bertalian keluarga, tapi akan sangat rumit bagaimana menjelaskannya. Intinya, kami masih ada hubungan saudara. Begitulah.

Dulu semasa SMA, aku selalu direpotkan olehnya. Bukan karena ia selalu menyontek padaku, atau suka meminjam uang atau sebagainya. Aku repot karena harus selalu mengantarkan surat peringatan atau surat panggilan untuk orang tuanya dari sekolah.

Ia anak bungsu dan entah kenapa, imej bahwa anak bungsu pasti manja dan selalu membuat masalah amat melekat padanya. Aku tak begitu mengerti apa masalahnya, karena aku tak pernah tertarik membaca surat itu.

Kadang yang menerima surat itu ibunya, ayahnya, kakaknya, abangnya, pokoknya semua anggota keluarganya pernah kutemui ketika menyampaikan surat itu. Dan untuk setiap surat yang datang, yang pergi ke sekolah memenuhi panggilan itu pun berbeda-beda.

Untung ketika naik kelas 3, aku berhenti total menjabat sebagai pengantar surat. LOL. Ketika itu aku berpikir, mungkin dia sudah bertobat dan serius belajar karena kami akan menghadapi ujian akhir.

***

Suatu sore, aku pulang kampung karena setelah tamat SMA, aku melanjutkan kuliah di kota Medan. Begitu memasuki rumah, aku mendapati sebuah surat undangan pernikahan di atas meja makan. Iseng-iseng, aku membacanya karena penasaran kerabat mana yang akan menikah.

Dan betapa terkejutnya bahwa nama mempelai yang tertera di sana adalah si tetangga temanku satu sekolah yang suka membuat masalah.

Tidak mengherankan juga ia akan menikah secepat ini. Dulu ia selalu bergonta-ganti pacar, suka mojok di sana sini, bahkan suatu kali aku memergokinya sedang kissing di salah satu sudut sekolah. Nama pasangannya juga kukenal baik. Mereka dulu sekelas dan ternyata perempuan itu yang menjadi kekasih terakhir si tetangga. Dari sepupunya si tetangga aku tahu bahwa dia MBA, married by accident. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Aku menanyakan kepada sepupunya itu, kenapa si kawan tersebut bisa berkelakuan seperti itu. Apa ia tidak khawatir dengan masa depannya sampai, maaf, menghamili anak orang? Apa ia tidak ingin kuliah? Akan jadi apa kalau hanya tamatan SMA?

Dan jawabannya sungguh membuatku melongo. Ia memang tidak ada niat kuliah. Kuliah atau tidak, akan sama saja baginya. Ia mencontohkan abang dan kakaknya yang rata-rata sarjana, tapi tetap tidak meningkat karirnya. Hidup mereka juga begitu-begitu saja. Bahkan abangnya yang telah menikah, masih suka meminjam uang atau beras ke rumah orang tua mereka. Jadi, buat apa kuliah? Katanya begitu. Lebih enak langsung terjun ke dalam ‘hidup’ yang sesungguhnya, memulai perjuangan.

Menurutku, pikirannya sangat simpel, terbatas, dan tidak maju.

***

Dua tahun berlalu sejak itu, aku mendengar lagi cerita tentangnya dari sepupunya sendiri.

Si kawan tersebut sekarang punya anak, perempuan kalau tidak salah. Aku sempat bergidik, membayangkan aku di usia sekarang mempunyai anak. Sungguh aku belum siap. Sedangkan si kawan itu, sudah punya keluarga. Mereka tinggal di kampung asal istrinya dan bekerja sebagai petani. Dia sangat menyayangi putrinya, juga istrinya. Ia bahkan rela tidak membeli rokok, tidak membeli pakaian baru, tidak makan mewah, demi membeli susu putrinya.

Dan sekarang, ia sedang mempersiapkan pembangunan rumahnya. Meski tidak terlalu besar, paling tidak rumah itu milik mereka sendiri, katanya. Gila...! Ini benar-benar gila. Ia baru menikah 2 tahun, dengan profesi petani, sudah punya anak pula, bagaimana bisa membangun rumah secepat itu? Rasanya hampir mustahil bagiku.

Tapi memang tidak ada yang tau arti dari apa yang telah tergores di telapak tangan, dan apa yang telah digariskan Tuhan. Bisa jadi hasil ladangnya melimpah, berkat usaha keras dan kegigihannya. Rejeki bisa mengalir dari mana saja.

Salut. Aku benar-benar salut mendengarnya.

Mungkin dulu orang tuanya suka dongkol melihat kelakuan si bungsu itu, keluarga besar kesal karena tingkahnya. Tapi bisa kupastikan kalau si kawan yang dulu badung itu sekarang cukup membanggakan.

***

Mendengar kisah si kawan itu, aku tiba-tiba merasa kalah. Aku merasa kalah bukan karena ia telah menikah, telah punya keluarga dan anak sementara aku belum. Aku merasa kalah karena ia lebih dulu berhasil mewujudkan impiannya. Misi hidupnya sejauh ini berhasil, meski cita-citanya sangat sederhana. Paling tidak itu baik untuknya dan membuat hidupnya lebih berkualitas serta berarti. Sementara aku masih sibuk ini itu, masih sibuk dengan pergaulan yang kadang sebenarnya kurang penting, sibuk kuliah demi satu cita, dan masih suka membuang waktu.

Hidup ini adalah pilihan, kan? Pilihan yang bebas dengan konsekuensinya masing-masing. Si kawan itu telah menentukan pilihannya sendiri, dan ia menjalaninya, menikmatinya.

Dan untuk kamu, siapapun itu, tentukanlah pilihan yang tepat, dan selamat menjalaninya... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar