Minggu, 12 Mei 2013

About The Death


Sore tadi, aku iseng membuka facebook. Dan status pertama yang muncul sangat mengejutkanku. Seorang teman lama menuliskan status yang membuatku terhenyak dan seketika waktu seakan berhenti berjalan, dunia berhenti berputar. Si teman menuliskan status ‘turut berbela sungkawa atas kepergian seorang kawan lama untuk selama-lamanya.’

Berbekal penasaran, aku akhirnya menelusuri sasaran status si teman itu. Usut punya usut, akhirnya aku menemukan jawaban. Seorang teman sekelasku sewaktu kelas dua SMA (sekitar lima tahun lalu) telah meninggal karena kecelakaan.

Aku duduk mematung di atas kursi, tak bergerak. Memori ingatan memutar ke belakang, mengunjungi laman kenangan ketika masih mengenakan seragam putih abu-abu. Si kawan ini (cowok) adalah salah satu teman baikku ketika kami sekelas di 2 IPA II di satu SMA swasta di Kabanjahe sana, meski hubungan kami bukan termasuk kategori  best friend.

Ia orang yang ramah, setidaknya itu kesan yang kudapat ketika setahun berada dalam kelas yang sama dengannya. Konyol, juga lucu. Ketika kelas kami mengadakan perpisahan dengan naik gunung Sibayak, ia selalu ngocol membuat perjalanan tak terlalu boring. Aku bahkan masih menyimpan foto-foto kenangan ketika kami ramai-ramai berpose di tengah jalan yang menanjak, dan ada dia juga.

Ketika naik ke tingkat selanjutnya, kami berpisah, tapi bukan berarti hubungan pertemanan itu terputus sama sekali.  Tak pernah ada rasa canggung atau sungkan untuk bertegur sapa, juga sesekali melempar joke.

Keramahannya membuatnya punya banyak teman, sahabatnya bertebaran di sana sini. Ketika seragam putih abu berganti, jalinan pertemanan itu tak pernah putus. Banyak di antara kami yang melanjutkan kuliah di Medan. Beberapa kali aku bertemu dengannya, dan keramahannya tak berkurang. Itu adalah nilai plusnya dia, membuat banyak sekali orang yang merasa kehilangan ketika terdengar kabar ia meninggal dunia.

Wall facebooknya dipenuhi kalimat duka, bahkan tak sedikit teman, baik cowok atau cewek yang tak segan menumpahkan tangisnya di sana lewat kata-kata. Kalimat-kalimat itu membuatku haru. Semuanya merasa sangat kehilangan atas kepergian seorang sahabat yang sangat baik.

Bukan satu dua kali aku mendengar lontaran kalimat ‘kenapa orang baik sangat cepat dipanggil Tuhan?’, tapi cukup sering. Memang bukan ‘label baik’ yang menentukan cepat atau tidaknya seseorang berpulang, tapi karena waktunya memang sudah tiba, tidak peduli semasa hidupnya seseorang itu bersifat baik atau tidak. Dan kalimat itu mungkin tercipta karena banyak orang menyayangkan seseorang yang baik harus terhenti waktunya di usia muda.

Sempat aku bergidik menerima kenyataan ini, bahwa setiap orang, siapapun itu bisa dipanggil sang Khalik kapan saja. Terlebih lagi si kawan ini seumuran denganku. Aku membayangkan ia yang juga sepertiku. Ia sedang mengejar pendidikan, mewujudkan impian dan cita-citanya. Mungkin ia ingin membahagiakan orang tuanya, dan kelak bermimpi akan bersanding dengan seorang perempuan yang dicintainya. Tapi, sebelum semua itu terwujud, waktu untuknya terhenti.
                                                                        ***
Beberapa minggu lalu, Indonesia juga kehilangan seseorang yang cukup berpengaruh, ialah Ustad Jefri. Meski aku seorang kristiani, bukan berarti aku tidak mengenalnya. Ia adalah satu-satunya ustad yang menjadi idolaku, tidak salah kan?

Pagi itu aku terkaget-kaget ketika menonton sebuah acara gosip di televisi. Dikabarkan Uje telah meninggal pagi buta tadi karena kecelakaan motor. Aku mengernyitkan kening, sedikit tidak percaya. Tapi acara yang ditonton seantero Indonesia ini tidak mungkin menyebarkan berita bohong kan?

Kabar itu benar. Kenapa? Kenapa? Itu kata tanya yang melompat-lompat dalam benakku. Aku tidak mempertanyakan kenapa ia sampai bisa kecelakaan begitu, tapi kenapa Tuhan mengambilnya begitu cepat? Kecelakaan itu hanyalah sebentuk media atau cara yang harus dilaluinya dalam perjalanannya menuju alam sana.

‘Dia orang baik’. Semua orang mengatakan hal itu. Aku juga meyakininya, meski aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya, hanya sesekali aku iseng mendengar dakwah-dakwahnya di televisi.

Aku tidak menyalahkan kehendak Tuhan karena semua hal yang terjadi atau akan terjadi atas ciptaan-Nya adalah hak-Nya, tapi aku sangat menyayangkan kepergian Uje yang sangat cepat dan mendadak ini. Keluarganya masih sangat membutuhkannya. Anaknya masih kecil-kecil dan sangat membutuhkan bimbingan seorang ayah sebaik Uje.  Orang banyak juga masih sangat ingin mendengar dakwahnya. Uje sendiri pun pasti masih memiliki banyak impian dan cita-cita yang belum tercapai, tapi siapapun pasti tidak bisa mengingkari kematian.

Aku merasa sangat haru ketika mengikuti kabar pemakaman Uje. Karena kebaikannya, ia begitu diagungkan. Belum pernah aku melihat artis, atau siapapun yang memiliki nama besar, diiringi oleh massa yang begitu banyak ketika menuju tempat peristirahatan yang terakhir. Uje adalah satu-satunya. Setiap orang punya alasan tersendiri dalam hati, yang membuat nuraninya tergerak untuk turut mengiringi Uje. Bahkan hingga tujuh hari sejak kepergiannya, makamnya masih terus dibanjiri bunga dan doa dari pejiarah yang masih terus datang berkunjung.

Uje telah meninggalkan pengaruh besar yang sangat baik, juga pengingat yang manis bagi banyak orang.

Ah, sebuah pemahaman kecil muncul dalam benakku. Setiap orang punya satu kali kesempatan, punya satu waktu dalam hidup, sebelum hidup itu menemukan titik akhir. Dan satu kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan hal utama yang harus dikejar adalah berbuat kebaikan. Ketika kematian datang menjemput, kenangan yang baik itulah yang akan menjadi pengingat bagi orang lain tentang kita. 

Tuhan pasti punya alasan kenapa ia memanggil seseorang itu begitu cepat. Rancangannya jelas lebih sempurna dari rancangan manusia kan?

Untuk kawan lamaku, dan juga Uje, selamat jalan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar