Selasa, 06 Maret 2018

MEMBUNUH SEORANG PENGARANG [Cerpen Joglosemarnews.com, 05 Maret 2018]

Ilustrasi oleh joglosemarnews.com

MEMBUNUH SEORANG PENGARANG
Oleh Dian Nangin 
Kau tahu, sebagai pengarang, perempuan itu hobi berkeliaran—ia lebih suka menggunakan kata itu ketimbang kata berjalan-jalan. Ia sering mangkir dari pekerjaan, hingga akhirnya dipecat setelah berkali-kali menerima teguran. Alih-alih sedih dan menyesal, ia malah senang. Serupa anak sekolahan yang berbahagia karena diusir keluar kelas oleh salah satu guru killer yang dibenci karena telah membuat keributan kecil. Ia jadi bebas melakukan apapun yang diinginkan.
Maka setelah lepas dari serangkaian riasan wajah yang rumit, sepatu tumit, serta rutinitas kantoran yang ia anggap tak lebih dari jeratan yang menyiksa, ia bisa berada di mana saja. Mungkin suatu kali kau tak sengaja bertemu dengannya di sebuah klub malam, berpakaian nyentrik, menenggak salah satu merek minuman beralkohol dan berjingkrak-jingkrak menikmati dentuman musik seperti orang lupa diri. Esoknya ia telah nongkrong di kampung kumuh tepi sungai, bergaul dengan anak-anak gembel.

Bisa juga suatu hari tanpa sengaja kau melihatnya duduk berjam-jam di bangku tunggu stasiun kereta tanpa berbicara pada siapapun dan tak berniat pergi kemanapun. Pernah juga ia bersemedi di pemakaman umum, beradu tatap dengan nisan-nisan bisu milik orang-orang mati yang tak kenal. Seakan roh-roh mereka akan mengguyurnya dengan hujan ilham.
Tak terhitung nasehat bernada sama yang ia terima dari orang-orang dekatnya; tak pantaslah seorang perempuan menjalani hidup seperti itu. Seharusnya ia melakukan pekerjaan baik-baik, yang menjamin masa depan, atau paling tidak akan membuat reputasinya terlihat bagus. Sementara—menurut mereka—profesi sebagai pengarang tidak menjanjikan satupun hal tersebut.
Namun segala petuah itu hanya berhenti di anggukan kepala. Sebab esoknya ia kembali melanjutkan rangkaian aktivitas menulis yang begitu ia cintai. Ia kembali berada di tempat-tempat yang tak orang inginkan untuk ia kunjungi.
Semua itu dilakoni untuk mengasah kepekaan, katanya beralasan. Untuk mempertajam intuisi dan menangkapi ilham, ia suka mengasingkan diri dalam kesunyian paling hening. Namun ia juga sering menceburkan diri di keramaian, sesuai kondisi dan kebutuhan bahan tulisan yang tengah dikerjakannya.
Kadangkala, di keramaian itu, satu dua orang mengenalnya. Mereka mengaku melihat profilnya tercantum di bawah karangan-karangannya di halaman koran ibukota dalam ruang yang begitu sempit. Disertai pula dengan sebuah foto berwarna berukuran kecil. 
            Namun, tak ada permintaan foto bersama atau paling tidak sebuah coretan tanda tangan. Sebab ia tak cukup cantik dan ‘bening’ untuk dijadikan idola. Pun, tulisan-tulisannya belum begitu menggebrak hingga orang merasa tak perlu mengabadikan pertemuan dengannya. Mereka hanya sekedar menyapa dan mungkin esok lusa sudah lupa pernah bertemu dengan seorang pengarang yang tak terkenal.
            Namun itu tak membuatnya patah arang. Mengarang membuatnya lebih hidup dan bahagia, terlepas dari dimuatnya karangan itu atau tidak. Diberi honor tinggi atau sekedar ucapan terima kasih. Dipublikasikan di harian bergengsi ibukota atau koran abal-abal yang akan berakhir sebagai pembungkus ikan asin. Ia yakin semua itu akan membawanya satu langkah lebih dekat pada mimpinya sebagai pengarang tersohor dan diperhitungkan—walau tak jarang kondisi itu membuatnya terbelit banyak kesulitan. Terutama di bidang ekonomi.
Tapi, walau mengarang tak membuatnya kaya, jangan pula kau berpikir kalau ia perempuan urakan seperti yang sering dialamatkan khalayak pada kaum seniman. Tak selamanya mereka seperti itu. Buktinya, lihatlah perempuan itu petang ini. Ia berdandan dengan manis.
Beberapa jam lagi malam minggu akan tiba. Walau tak punya kekasih, namun ia bersiap untuk sebuah kencan di taman kota. Ia akan berkencan dengan....isi kepalanya! Baginya itu akan lebih membawa manfaat ketimbang mendengar rayuan-rayuan basi mulut lelaki selama berjam-jam yang hanya akan menghambat kinerja otaknya.
***
            Di bangku yang berada di sudut taman yang tak terlalu ramai orang, ia duduk tercenung dengan smartphone di tangan. Halaman note terbuka menganga, menunggu kekosongannya dipenuhkan. Itu telah menjadi kebiasaan si pengarang, mengikuti saran para pengarang lain yang sering ia terima. Karena, segala sesuatu yang melintas dalam benak harus segera dituangkan ke dalam bentuk tulisan.  Inspirasi—yang mengendap atau cuma numpang lewat—sering memberati hati dan pikirannya. Harus segera diterjemahkan ke dalam kata-kata. Serupa beban yang menumpuk di dada seorang gadis cengeng yang akan segera menguap lewat curahan air mata.
            Pengarang itu menatap berkelompok-kelompok orang yang duduk bersantai di tengah taman. Matanya liar bergerak, menangkap sebanyak mungkin pemandangan. Membaurnya dengan sejumlah imajinasi. Membentuk beragam kemungkinan tokoh atau latar yang akan membentuk sebuah cerita. Barangkali itulah kelebihan seorang pengarang. Apa yang dilihat mata orang biasa, tak pernah sama dengan apa yang dipandang oleh seorang pengarang—walau si pengarang sendiri juga hanya manusia biasa. Bukan dewa.
            Perempuan itu tengah khusyuk menulis ketika dari arah jalan datang seorang lelaki paruh baya. Wajahnya dibalut amarah dan tampak terburu-buru, seakan siap menghabisi siapa saja yang menghalangi langkahnya. Dan, ia berjalan menuju si pengarang.
            Perempuan itu baru mengangkat wajah ketika sepasang kaki lelaki tersebut berhenti tepat di hadapannya. Ia mengerutkan wajah. Ia yakin belum pernah bertemu lelaki itu, namun ia merasa sosok itu akrab di matanya.
            “Aku ingin menjadi ksatria!” tegas lelaki itu tanpa basa-basi. “Bukan pembunuh berdarah dingin.”
            Pengarang itu terhenyak, kaget. Ia mengedipkan mata dan perlahan mengingat bahwa ia memang mengenal lelaki ini.
            “Aku juga mau menyampaikan keberatan!”
            Si pengarang melongokkan kepala. Di belakang lelaki itu telah berkerumun sejumlah manusia dan makhluk yang semua dikenal baik olehnya. Mereka bergantian mengajukan protes.
            “Aku ingin dihadiahi sepotong senja1 dari kekasih yang pemberani,” seorang perempuan pucat berambut panjang menginterupsi,”bukannya dihabisi oleh pacar pengecut dan ditelantarkan menjadi arwah gentayangan.”
            Perempuan pengarang itu menggeleng-geleng. Pusing. Ini semua hanya ilusi, pikirnya. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa tokoh-tokoh karangannya akan menyerangnya atas keputusannya membuat mereka memainkan peran yang tak mereka inginkan. Padahal menurutnya peran tersebut sudah bagus dan pas.
“Aku tak mau berakhir sia-sia dengan kelopak yang dicabut satu persatu oleh perempuan nelangsa yang sedang menghitung hari menunggu kepulangan kekasihnya.” Setangkai mawar merah yang tiba-tiba punya kaki menyeruak dari keramaian itu. “Aku ingin jadi pahlawan cinta yang mati dalam dekapan gadis yang sedang kasmaran.”
            “Lihatlah pengarang-pengarang beken itu!” yang lain ikut berujar. Si pengarang menangkupkan kedua tangan di wajah hingga tak mengenali lagi siapa yang kini tengah berbicara.
“Apa saja yang mereka tulis menjadi bahan perbincangan orang-orang. Sementara kau hanya menulis sesuatu penuh basa-basi, sepele, sampai kami bosan menunggu diterbitkan.”
            “Aku juga masih terus belajar,” pengarang itu membela diri. Ia lalu menyadari bahwa kumpulan makhluk yang kini menyerangnya berasal dari tulisan-tulisannya yang tak kunjung mendapat tempat di halaman-halaman koran. “Bersabarlah sampai aku membenahi kalian satu persatu dan menulis dengan lebih baik lagi.”
            “Antrean begitu panjang dan kami lelah selalu disalip oleh tulisan milik pengarang beken itu,” ujar seorang wanita tua, kecewa. “Aku ingin kau tahu bahwa aku begitu rindu dibaca orang sebelum nanti mati. Kupikir waktuku sudah tak lama lagi.”
            “Tampaknya kau tak begitu berbakat menjadi pengarang!” sebuah kalimat menohoknya.
            “Tapi...” si pengarang mencoba berkilah.
            Namun mereka tak memberinya kesempatan untuk membela diri. “Kau hanya membuat nasib kami menjadi sial!”
            “Bukan begitu! Dengarkan dulu....”
            Lelaki yang ingin menjadi ksatria tiba tiba mengeluarkan sebilah belati yang terselip di balik pinggang celananya. Si pengarang tak sempat mengantisipasi apapun ketika belati itu terayun cepat dan menancap di dadanya. Peristiwa itu terjadi begitu mendadak, mengagetkan.  Tanpa komando, kumpulan makhluk itu membubarkan diri. Menghilang tanpa jejak.
            Lelaki itu terbahak, puas. “Kau terlalu amatir dan keras kepala. Kalau kau memang ingin menjadikanku sebagai pembunuh berdarah dingin, biarlah kau yang jadi korban pertamaku!”
Usai berkata demikian, ia juga melesat pergi. Tinggallah si pengarang terbaring tanpa daya, babak belur dan sekarat. Raut wajahnya tak dapat kutebak, apakah ia menyesal dan merasa seharusnya menuruti permintaan tokoh-tokoh itu, atau ia malah bersyukur bahwa hingga akhir hayatnya ia tetap mempertahankan apa yang menjadi komitmennya. Baru kali ini aku melihat seorang pengarang tak bisa menundukkan tokoh karangannya sendiri.
***
            Dering telepon tiba-tiba memecah lengang, mengacaukan keheningan yang hampir dua jam telah membungkusku. Sebuah inspirasi yang tadi tengah berpijar dalam kepalaku mendadak buyar tanpa sisa. Tak ingin diganggu lebih lama lagi, segera kuraih ponsel itu dan menjawab panggilan tersebut.
            “Halo?”
            “Selamat siang. Saya dari redaksi surat kabar kota, ingin mengabarkan bahwa cerpen anda akan dimuat di edisi Sabtu besok.”
            Aku tersenyum, lebar dan lama. Tak sia-sia aku membunuh pengarang itu!
Medan, 2017
Keterangan:
1.      Mengacu kepada cerpen Seno Gumira Ajidarma dengan judul lengkap ‘Sepotong Senja Untuk Pacarku’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar